Lihat ke Halaman Asli

Gemohing, Hamaren, dan Gotong Royong

Diperbarui: 23 Maret 2018   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gotong-royong, Hamaren (Maren) dan Gemohing adalah sebuah definisi jiwa bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan negeri ini. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam politik bangsa ini.

Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong, Maren, Gemohing telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama gotong-royong , Maren, Gemohing merupakan "kata suci" yang selalu dikumandangkan oleh Sukarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong (Maren, Gemohing). Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orde lama, tetap saja gotong-royong, Maren, Gemohing menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Suharto.

 Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong, Maren, Gemohing adalah sifat dasar yang dimiliki dan menjiwai bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, membangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong, Maren, Gemohing sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong, Maren, Gemohing adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.

 Gotong Royong, Maren, Gemohing Adalah bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing. Gotong royong, Maren, Gemohing yang ada memang berbeda secara kata tetapi mempunyai makna yang sama yaitu kerja sama.

 Pelaksanaan Gotong Royong, Maren, Gemohing.

 Gotong royong, Maren, Gemohing merupakan salah satu budaya peninggalan nenek moyang, yang telah lama berada di daerah-daerah. Gotong Royong, Hamaren atau maren dan Gemohing adalah suatu sistem sosial-budaya masyarakat yang termanifestasi dalam bentuk kerja tolong menolong antar warga. Awalnya, ia ada dalam bentuk kerjasama masyarakat untuk menyelesaikan rumah, dan sebagai cara masyarakat menertibkan hidupnya agar menjadi lebih baik. 

Selain itu, budaya Gemohing atau pun Hamaren juga hadir sebagai cara masyarakat meng-akta-kan solidaritas dan kerjasama sosial melalui kerja dan pemberian sumbangan tenaga (yelim). Pelaksanaannya, diresapi oleh spirit falsafah: "Masyarakat yang terlibat di dalam Hamaren hanya berasal dari satu keturunan saja (faktor hubungan darah atau satu keluarga). Karenanya, pelaksanaan kerja tolong menolong antar warga dilakukan secara spontan, sukarela dan tanpa pamrih.

 Melalui perjalanan historis, kini, budaya Gotong Royong, Hamaren, Gemohing telah merambat pada hampir semua bidang hidup manusia, seperti Gotong royong, Hamaren atau Gemohing dalam membuat kebun, menarik ikan, membangun rumah, acara perkawinan, acara kedukaan, dan menunjang pendidikan anak-anak, serta melibatkan berbagai elemen di dalam masyarakat yang berbeda latar belakang hidup (melintasi batas suku, agama, kasta, marga, kampung/negeri). 

Sistem sosial-budaya ini juga berhadap muka dengan berbagai perubahan sosial. Adanya berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi eksistensinya, sekaligus telah merubah wajah kultur ini. Faktor-faktor dimaksud, adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, lingkungan, agama atau religi, politik, pemuda, saling ketergantungan, filosofi masyarakat, dan hukum adat. 

Karenanya, selain istilah Gotong royong namun istilah Hamaren, dan Istilah Gemohing masih memperlihatkan orisonalitas sebagai wujud cara berada dan cara memahami relasi kekeluargaan dan kekerabatan, telah muncul pula kegiatan sewa-menyewa, kompetisi dan ketidakpedulian sosial. Akibatnya, terjadi penonjolan individualitas ketimbang komunalitas, menipisnya relasi-relasi kemanusiaan, bahkan nilai-nilai sosial-budaya tersebut nyaris sirna. 

Walaupun demikian, belum sepenuhnya dapat dikatakan bahwa masyarakat telah kehilangan solidaritas sosial. Solidaritas tetap ada dan mewarnai dinamika interaksi sosial, sebab ada kesadaran bersama bahwa mereka bukan makhluk individu semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline