Lihat ke Halaman Asli

epiaresih

fresh graduate Jurnalistik UIN Alauddin Makassar

Kartini, Barbie, dan Perempuan Cinderella Complex

Diperbarui: 2 Juni 2020   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

selamat hari emansipasi, perempuan Indonesia yang cantiknya bukan lagi luka... yang sekarang telah diizinkan zaman bersolek sosialita tanpa ditindas momok bukan "kelas borjuis dan proletar," yang telah terbebas dari diskriminasi patriarki setelah sekian zaman memasung perempuan dengan pendek langkah diranah privat, sumur, kasur dan dapur.

"perempuan tidak usah sekolah, tidak perlu baca tulis, pandai memasak dan melayani saja sudah cukup" menjadi manusia kelas kedua dengan tabahnya, perempuan menderita sedemikian pasrah berabad-abad lamanya. Mari sedikit kita menengok apa yang telah diabadikan sejarah tentang perempuan, kepercayaan Yahudi kuno mengajarkan martabat perempuan sama dengan pembantu, perempuan adalah sumber laknat sehingga Adam didepak keluar dari surga (Yafie, 1996 : 60), dimasa yang juga klasik kepercayaan Nasrani menganggap perempuan adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia, mungkin dari sinilah adagium "harta, tahta dan "wanita" itu ada.

Penuntutan hak oleh para kritikus patriarki dari masa-kemasa akhirnya membawa pada nokta yang memberi ruang atas dahaga eksistensi dan aktualisasi diri perempuan yang telah lama terpenjara, "habislah gelap terbitlah terang". 

Mengenang nestapa pada zaman imperialisme Belanda, Raden Ajeng Kartini yang hidup pada masa itu, menghabiskan usianya yang hanya sekejab untuk memperjuangkan martabat perempuan Indonesia yang saat itu tidak lebih dari objek pemuas birahi kaum lelaki dari golongan prajurit, bangsawan dan meniere penjajah. Bahwa perempuan juga berhak atas pendidikan baca tulis, perempuan juga patut diberi ruang publik.

Kiranya keringat dan air mata RA Kartini yang jatuh saat itu terbayar sudah dengan melihat rekahan senyum dari perempuan bangsa Indonesia yang bebas berkarya, terbangun dari mati suri pesona eksistensi, yang tidak lagi dibayang-bayangi stigma. Perjuangan luhur tersebut membawa perempuan Indonesia berhak berdiri dijejeran podium publik yang terhormat, tampil sebagai sosok pembaharu dan inspiratif keluar dari ranah privat setelah lama dikurung budaya patriarki.

Pelesiran sejarah kita cukupkan, kembali kepada maksud dan tujuan tulisan ini ada di layar gawai anda sekalian para pembaca yang terhormat, "mungkin saat ini sukma Raden Ajeng Kartini tengah bersusah hati, melihat perempuan bangsanya hari ini," sekalipun itu dihari perayaan namanya yang abadi harum mewangi. "bersusah hati", melihat mental perempuan Indonesia yang sekadara menomor satukan modis dan cantik daripada buah pikiran, menganggap hedonitas adalah semata-mata penentu martabat strata sosialnya, tampaknya ada yang telah luput dari perjuangan para kritikus patriarki dan aktivis feminis, revolusi mental perempuan yang tidak begitu dipersoalkan, itu masalahnya.

Masalah mental illness dikalangan kebanyakan perempuan, apalagi perempuan dari bangsa yang menganut budaya patriarki mendarah daging, seperti kebudayaan dan adat suku di tanah air, dihumus dan disemai oleh media massa yang memperdagangkan hasrat perempuan dari content fantasi berlebih yang terlalu berangan-anagan, membawa perempuan pada simpul disolder mental syndrome cinderella complex.

Pasti tidak asing dengan Cinderella bukan?... Cinderella serial kartun anak yang mendulang kesuksesan ditangan Disney Princess pada masanya bahkan hingga kini tidak kehilangan popularitas sama sekali. 

Singkat cerita Cinderella adalah gadis malang yang cantik, bertahun-tahun disiksa ibu tiri dan dua kakak tirinya sepeninggalan ayahnya, diperlakukan layaknya babu dan pada suatu ketika nasibnya berubah berkat berhasil datang ke pesta kerajaan dan berdansa dengan sang pangeran, pukul 00.00 keajaiban dari ibu peri akan segera sirna, Cinderella berlari dan meninggalkan sebelah sepatu kacanya, pangeran mencari keberadaannya berhari-hari dengan mengutus pengawal istana, Cinderella akhirnya berhasil mengenakan sebelah sepatu kacanya kembali dan dipinang sang pangeran kisah ditutup dengan hidup bahagia selamanya, so sweet... and happy ending.

Kembali ke syndrome cinderella complex yang didefinisikan sebagai suatu sikap atau perasaan takut yang dialami perempuan, muncul dalam bentuk keinginan mendalam dapat dirawat dan dilindungi orang lain. Terutama oleh sosok laki-laki atau seseorang yang akan menolongnya, persis dengan pengharapan dalam serial"Cinderella," ada pangeran yang melindunginya dan ada ibu peri yang selalu menolongnya.

Syndrome cinderella complex pertama kali diperkenalkan terapis asal New York Colotte Dowling, sikap manja dan delusional ciri identik synrome ini, gejala krisis kemandirian yang terjadi pada perempuan. Mengakibatkan ketidak mampuan untuk mengaktualisasikan dirinya dengan baik, sehingga menimbulkan ketergantungan karena adanya keinginan yang kuat untuk dirawat, dilindungi, disayangi serta keyakinan untuk diselamatkan oleh orang lain terutama oleh sosok laki-laki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline