Lihat ke Halaman Asli

NUN Sebagai Satu-satunya Kriteria PPDB Online. Patutkah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

NUN
sebagai satu-satunya kriteria PPDB online. Patutkah?

Nilai ujian nasional
yang biasa disingkat dengan NUN memiliki banyak arti. Untuk siswa, nilai
tersebut merupakan prestasi yang bersifat sakral. Mereka berjuang keras untuk
mendapatkan nilai terbaik. Selain itu nilai tersebut menjadi tolak ukur
keberhasilan mereka mengikuti proses pendidikan di sekolah. Nilai itu juga
menjadi sebuah indikator terterimanya mereka di jenjang pendidikan selanjutnya.
Sehingga banyak siswa yang berpikiran sempit, berusaha memperoleh nilai
tersebut dengan cara pintas. Sehingga tidak jarang kita mendengar kasus jual
beli jawaban soal UN. Baik itu ditingkat sekolah dasar, menengah pertama, dan
menengah atas. Walau tidak dapat dibuktikan secara nyata, namun wacana bahwa
jawaban soal ujian nasional dapat diperjual belikan selalu muncul setiap
tahunnya.

Demikian juga bagi
orang tua siswa. Nilai UN menjadi sebuah prestise. Hampir semua orang tua
bangga bila anak mereka memperoleh nilai UN yang baik. Ini bukan hanya sekedar ujian
bagi mereka namun sudah mendekati sebuah kompetisi. Seakan strata sosial mereka
terangkat bila anak-anak mereka memiliki nilai UN yang bagus. Hal inilah yang
terkadang dimanfaatkan oleh banyak pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
memperoleh keuntungan materiil dari bujuk rayu memperdaya para orang tua murid
yang ingin nilai UN anak-anak mereka baik.

Untuk sekolah, nilai UN
juga menjadi sebuah parameter keberhasilan mereka melaksanakan transfer ilmu.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan orang tua murid. Keberhasilan seorang guru
dan sekolah terkadang dilihat dari raihan nilai UN para siswa. Berbagai upaya
ditempuh pihak sekolah demi mengangkat nama baik sekolah dengan raihan nilai UN
siswa yang baik. Nilai UN ini juga menjadi salah satu penilaian kinerja guru
dan sekolah.

Untuk pihak pemerintah
daerah yang diwakili dinas pendidikan kota, kabupaten, dan propinsi sebaran
nilai UN yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun menjadi sebuah penilaian
keberhasilan mewujudkan masyarakat cerdas dan berpendidikan di wilayahnya.
Nilai UN juga bagi mereka semacam prestise. Ada kecenderungan persaingan antar
pemerintah daerah satu dengan lainnya dalam raihan nilai UN tersebut. Sebuah
kebanggaan terbersit disana bila nilai-nilai UN para siswa di daerahnya merata
dengan nilai yang baik.

Kecenderungan adanya
kompetisi dan persaingan meraih nilai UN yang baik sebagai sebuah prestise dan
kebanggaan inilah yang sangat memprihatinkan. Nilai UN menjadi sebuah komoditi.
Semua pihak sibuk menempuh berbagai cara agar memperoleh nilai UN yang baik
namun tidak ada satupun pihak yang mempertanyakan keabsahan nilai-nilai
tersebut. Hal ini memang dikarenakan tidak adanya hak yang diberikan pihak
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggung jawab pelaksanaan UN
kepada pihak lain untuk memeriksa kebenaran nilai tersebut. Hak mutlak ada
ditangan Kemendikbud. Termasuk siswa yang merupakan obyek dari pelaksanaan UN
tidak berhak memeriksa apakah benar nilai yang mereka dapatkan adalah murni
hasil kerja keras mereka atau tidak. Dalam hal ini ada sebuah paham otoritarian
yang dipraktekkan institusi yang bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
yang seharusnya menjadi garda terdepan mengawal Reformasi, Keterbukaan dan
Transparansi. Terlebih dengan Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin langsung
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengedepankan akuntabilitas dan
kredibilitas di semua lini tidak terkecuali Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, dengan sifat tertutup inilah yang memberi celah adanya praktek-praktek
manipulatif dan rekayasa dalam pelaksanaan penilaian UN.

Mengacu pada
Permendikbud(1) dan Ketetapan BSNP(2), mengenai UN dan
Prosedur Operasi Standar Pelaksanaan UN dengan jelas dikatakan bahwa UN
merupakan perhelatan akbar berskala nasional yang melibatkan banyak pihak,
mulai dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggung jawab pusat,
Litbang Kemendikbud, BSNP, Departemen Agama, Kepolisian RI dan Perguruan Tinggi
Negeri, juga melibatkan dan menghabiskan banyak dana yang bersumber dari APBN,
APBD-1 dan APBD-2 yang notabene merupakan uang rakyat. Diharapkan output
pelaksanaan ujian nasional berupa Nilai UN haruslah merupakan hasil yang dapat
dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Ketika nilai UN yang merupakan
output dari sebuah proses tidak menunjukkan hasil yang murni dan dapat
dipercaya maka secara otomatis prosesnya pun adalah tidak dapat dipercaya. Sungguh
sangat dilematis sekali ketika kita disuguhkan dengan nilai-nilai UN yang tidak
jelas asal usulnya. Kesan otoriter yang dikedepankan pihak Kementerian membuat
banyak pihak tidak dapat mempertanyakan Nilai UN tersebut.






Hasil pantauan penulis dari proses penerimaan
peserta didik baru (PPDB) melalui jalur online tahun 2012, tercatat sebanyak 48
siswa tingkat SMP dan sederajat yang diterima di SMA Negeri di kota Bekasi
memiliki nilai Matematika 9.400 dan 9.600 (data
lengkap ada di redaksi
). 1 siswa lainnya memiliki nilai Matematika 8.900.
Nilai yang sangat tidak masuk akal mengingat jumlah soal mata pelajaran
Matematika yang diujikan pada pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2012 dan juga tahun
ini hanya sebanyak 40 soal pilihan ganda (multiple choice/PG) yang memiliki
bobot nilai 1. Sehingga munculnya angka 9.400, 9.600 dan 8.900(3)
adalah hal sangat tidak mungkin. Untuk yang mendaftar dan terterima di SMK
Negeri tercatat 9 siswa yang nilai Matematikanya dan mata pelajaran lain tidak
jelas asal-usulnya. Kemudian dari tingkat SD dan sederajat terdapat 4 siswa
yang memiliki nilai Matematika yang juga tidak jelas asal-usulnya. Kemudian di
beberapa kota dan kabupaten di propinsi Jawa Barat dan Banten, tercatat di
Cirebon, Karawang, Bogor, Sukabumi serta Tangerang Selatan-Banten kasus yang
hampir sama terjadi dimana terdapat nilai-nilai yang salah. Diperparah lagi hal
serupa juga terjadi di Propinsi DKI Jakarta. Banyak siswa yang mendaftar dan
terterima di SMA Negeri memiliki nilai yang salah untuk mata pelajaran
Matematika.

Keprihatinan terbesar
memang terjadi di Kota Bekasi. Tidak sedikitpun terbersit di benak para
petinggi Dinas Pendidikan Kota Bekasi untuk mengkritisi nilai-nilai salah
tersebut. Hal ini kembali ke permasalahan awal, dimana hak mutlak ada di tangan
Kemendikbud. Tidak ada pihak lain yang dapat mengkoreksi nilai-nilai itu dan
mengkritisinya. Menyedihkan. Padahal secara tegas Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, M. Nuh menyatakan bahwa nilai UN tersebut adalah hasil yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dapat dijadikan sebagai satu-satunya kriteria
penerimaan untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Pernyataan sepihak yang tidak
membumi. Pihak Kementerian menutup mata akan terjadinya kesalahan tersebut,
yang secara terang-terangan telah menistakan Permendikbud yang dikeluarkannya
sendiri dan secara linear juga menggagalkan Pelaksanaan Ujian Nasional karena
hasilnya sungguh sangat tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline