Setiap menjelang Idul Fitri, aroma harum gula merah yang dimasak bersama santan selalu menguar dari dapur nenek.
Hari Raya Idul Fitri selalu membawa kebahagiaan tersendiri bagi setiap keluarga. Selain menjadi momen untuk bersilaturahmi dan memaafkan, lebaran juga identik dengan hidangan khas yang menggugah selera.
Di antara beragam kue dan makanan manis yang tersaji, ada satu kudapan tradisional yang selalu hadir di meja keluarga kami: wajik.
Kudapan berbahan dasar beras ketan ini bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian dari kenangan dan tradisi keluarga yang tak lekang oleh waktu.
Kenangan Manis dalam Sepotong Wajik
Setiap menjelang Idul Fitri, aroma harum gula merah yang dimasak bersama santan selalu menguar dari dapur nenek.
Saya masih ingat bagaimana beliau dengan sabar mengaduk adonan wajik di atas tungku kayu bakar.
Memasak wajik di atas tungku kayu bakar. (sumber foto: Jandris_Sky)
"Wajik itu harus dimasak dengan penuh kesabaran, kalau tidak, rasanya bisa berbeda," ucap nenek sembari tersenyum.
Bagi nenek, membuat wajik bukan hanya tentang menciptakan makanan manis, tetapi juga tentang menyatukan keluarga.
Mengaduk adonan wajik dilakukan dengan kesabaran, supaya adukannya merata. (sumber foto: Jandris_Sky)
Setiap tahunnya, kami sekeluarga berkumpul di dapur, membantu memotong daun pandan, mengaduk ketan, dan menuangkan adonan ke dalam loyang sebelum dipotong menjadi bentuk persegi.