Bagaimana mungkin seorang pensiunan yang hidup damai, tiba-tiba kehilangan seluruh tabungan dalam hitungan jam? Bukan karena perampokan bersenjata, tapi karena telepon dari seseorang yang mengaku dari bank. Ia percaya, dan dananya lenyap. Fenomena ini menandai wajah baru kejahatan: fraud digital yang melibatkan pelaku lintas negara dan korban lokal.
Penipuan bukan lagi berbasis intimidasi fisik, tetapi manipulasi informasi (Gu & Guo, 2023). Ini bukan soal lemahnya nalar korban, tapi kegagalan negara menyediakan sistem perlindungan digital yang adil dan setara.
Sebagian besar korban bahkan tidak menyadari bahwa mereka hidup dalam lanskap digital yang timpang. Ketimpangan itu digambarkan oleh Hjelholt dan Schou (2017) sebagai "klasifikasi digital"---di mana negara menciptakan kategori warga negara yang melek digital dan yang tidak. Warga yang rentan---pensiunan, ibu rumah tangga, pekerja informal---menjadi sasaran utama dalam arsitektur digital yang tidak berpihak. Cross (2019) menegaskan bahwa online fraud bukan sekadar fraud biasa, melainkan bentuk baru eksklusi digital.
Fenomena ini makin diperparah oleh kebuntuan hukum. Indonesia, menurut Bahtiar dan Naylawati (2024), mengalami deadlock regulasi dalam menghadapi kebocoran data dan penipuan digital. Hukum pidana kita belum beranjak dari paradigma konvensional, seperti dikritik oleh Cahyono, Erni, dan Hidayat (2025), yang menyebut sistem peradilan kita masih belum mampu merekonstruksi hukum siber secara menyeluruh. Wicaksono dan Yasin (2024) mengusulkan pendekatan omnibus law sebagai solusi sektoral terhadap kekacauan perlindungan digital. Namun demikian, pendekatan ini masih bersifat parsial dan reaktif.
Di sisi lain, teknologi pelaku jauh lebih maju. Mereka memanfaatkan information asymmetry dalam dunia digital, sebagaimana dipahami dalam teori fraud risk factor (Gu & Guo, 2023). Pelaku mengetahui betul bahwa korban tidak punya pengetahuan teknis untuk mengenali ancaman digital. Transformasi digital justru memberi ruang bagi jenis-jenis penipuan yang lebih halus dan kompleks (Nourelhouda, 2024). Bahkan dalam konteks sosial yang lebih luas, digitalisasi membuka celah baru bagi ketidakadilan struktural (Wodajo, 2022; Aanestad et al., 2021).
Sayangnya, Indonesia belum memiliki sistem perlindungan terpadu. Kasus penipuan seperti yang menimpa pensiunan tak bisa ditangani secara lintas sektor. Ketika uang korban sudah berpindah ke luar negeri, penegak hukum kita nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Maksum (2024) menunjukkan bahwa implikasi hukum terhadap penipuan digital sering kali terjebak antara hukum perdata dan pidana, tanpa kejelasan perlindungan korban. Ini diperparah oleh keterbatasan perangkat hukum dalam mengatur yurisdiksi lintas negara (Saghir & Kafteranis, 2022).
Dalam skala global, fraud digital berkembang menjadi bagian dari krisis sosial yang lebih besar (Sergeyev & Shirokova, 2023). Fraud tak lagi dilihat sebagai kejahatan individual, melainkan produk dari sistem sosial yang gagal mengantisipasi dampak digitalisasi. Di era industri 4.0, metode deteksi fraud semestinya menggunakan pendekatan cerdas dan prediktif (Chang et al., 2022). Tetapi, Indonesia belum memiliki arsitektur teknologi hukum yang mampu merespons secara real-time.
Menilik semua itu, kebijakan Indonesia harus bergeser dari pendekatan hukum represif ke kebijakan publik yang lebih holistik. Pelajaran dari Inggris menunjukkan bahwa pencegahan penipuan digital tidak hanya soal hukum, tapi juga bagaimana negara membangun sistem informasi dan pengawasan yang bersifat preventif dan adaptif (Kwan, 2010). Selain itu, seperti ditekankan Isin dan Ruppert (2020), kewarganegaraan digital bukanlah status pasif, tetapi hak aktif untuk dilindungi, diakui, dan diberdayakan dalam ruang digital.
Oleh karena itu, Indonesia perlu segera membangun sistem nasional tanggap fraud. Sistem itu harus terhubung antara OJK, kepolisian, bank, Kemenkominfo, dan platform digital. Setiap laporan harus langsung ditindak, bukan dibebankan sepenuhnya kepada korban. Indonesia juga perlu membentuk lembaga seperti National Scam Response Centre di Malaysia, yang memungkinkan pembekuan dana lintas platform dalam hitungan menit. Edukasi digital berbasis risiko harus menjadi kurikulum wajib bagi kelompok rentan.
Penipuan digital bukan hanya soal kejahatan daring. Ia adalah cermin dari ketimpangan digital dan ketidakhadiran negara dalam ruang yang kini paling intim bagi warganya: layar ponsel.
Jika negara tetap lambat, maka pertanyaan ini akan terus menghantui: siapa korban berikutnya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI