Lihat ke Halaman Asli

Irmina Gultom

TERVERIFIKASI

Apoteker

"Book Shaming"? Duh, Sudah Enggak Zaman!

Diperbarui: 7 Juni 2021   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa koleksi novel favorit | Ilustrasi: Dokumentasi pribadi

"Ya ampun, gimana pengetahuan lo mau nambah kalo doyannya baca Harlequin melulu. Harusnya lo baca Dunia Sophie, atau buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer, atau Lang Leav. Eh, tapi lo tau Lang Leav gak?"

Pernah dapat komentar macam itu saat kamu membaca buku tertentu? Dulu sekali saya pernah, meski komentarnya tidak persis sama. Komentar itu membuat saya bertanya pada diri sendiri, 'Apakah otak saya memang hanya mampu memahami bacaan seperti yang saya baca sekarang ini?'

Pada akhirnya komentar semacam itu membuat saya cukup tidak percaya diri untuk membaca buku tertentu di depan orang lain, dan saya tidak sadar sedang mendapat perlakuan Book Shaming.

Well, istilah book shaming seingat saya memang baru tenar sekitar tahun 2019 lalu. Saat itu sebuah cuitan yang mengatakan bahwa kaum milenial lebih mengenal Fiersa Besari, Tere Liye, dan sejenisnya dibanding Pramoedya Ananta Toer. Cuitan tersebut akhirnya menuai reaksi dari para netizen.

Selera Bacaan Setiap Orang Berbeda
Untuk pembaca sekalian yang masih agak asing dengan istilah ini, book shaming kurang lebih dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengomentari dan menyudutkan orang lain karena buku yang dibacanya.

Umumnya hal ini karena adanya anggapan bahwa buku dengan genre tertentu atau ditulis oleh penulis tertentu lebih baik, lebih berbobot, dan lebih layak dibaca dari yang lainnya.

Hal ini dapat membuat orang yang mendapat perlakuan book shaming menjadi tidak percaya diri dengan buku yang dibacanya. Ia akan cenderung sembunyi saat membaca buku tersebut atau malu saat membacanya di ruang publik.

Selain itu book shaming juga dapat membuat seseorang tidak jujur saat memberikan opini atau ulasan mengenai buku tertentu karena ia tahu, banyak orang yang mencemooh buku tersebut. Meskipun sebenarnya ia suka sekali membaca buku A, tapi dia tidak berani mengutarakan pendapatnya karena takut diejek.

Ibarat mie instan yang punya banyak rasa karena selera setiap orang berbeda, sama hal nya dengan buku yang terdiri dari berbagai macam genre karena selera bacaan setiap orang berbeda. Mulai dari kategori fiksi (misal roman, horor, fantasi, sains-fiksi, humor, misteri, petualangan dan lainnya) hingga non-fiksi (misal biografi, filsafat, ensiklopedi, jurnal dan lainnya).

Menikmati buku dengan genre tertentu yang disukai adalah hak setiap orang. Mereka yang menyukai buku bacaan bergenre roman bukan berarti memiliki pemikiran yang dangkal daripada mereka yang suka bacaan filsafat. Mereka yang suka bacaan berbau ilmiah belum tentu tidak memiliki perasaan yang sensitif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline