Lihat ke Halaman Asli

Irfandy Dharmawan

Lawyer Tri Vittama Firm

DPR Memang Bermasalah, Tapi Membubarkannya Bukan Jawaban

Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Rapat DPR RI (sumber gambar: KOMPAS.com)

Belakangan isu mengenai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai kritik tajam dari publik. Isu terbaru yang mengemuka adalah rencana kenaikan tunjangan atau gaji anggota DPR, yang jika dihitung-hitung bisa setara dengan tambahan hampir Rp3 juta per hari.

Di tengah kondisi masyarakat yang masih berjuang menghadapi ketidakpastian ekonomi, kebijakan semacam ini jelas memantik amarah publik. Kritik semakin keras karena DPR dianggap sering absen dari fungsi utamanya: menyerap aspirasi rakyat, melakukan pengawasan yang tegas terhadap pemerintah, dan menghasilkan produk legislasi yang berkualitas.

Namun, munculnya suara-suara ekstrem yang mendorong agar DPR dibubarkan justru menghadirkan persoalan baru yang lebih berbahaya.

Memang benar, DPR memiliki segudang masalah: citra yang kerap tercoreng skandal korupsi, legislasi yang lamban, serta gaya hidup mewah sebagian anggotanya yang kontras dengan kondisi rakyat.

Tetapi, membubarkan DPR sama saja dengan menihilkan prinsip demokrasi dan membuka jalan bagi lahirnya kekuasaan absolut di tangan eksekutif. Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol hanya akan melahirkan tirani.

DPR: Antara Fungsi Ideal dan Realitas Buram

Dalam teori representasi politik Hanna Pitkin, seorang legislator seharusnya bertindak sebagai wakil yang menyalurkan aspirasi rakyat. Namun, dalam praktik di Indonesia, fungsi representasi ini justru sering berubah menjadi representasi kepentingan oligarki dan partai politik. Tidak jarang, keputusan DPR lebih berpihak pada elite ketimbang rakyat.

Kasus-kasus terbaru semakin memperkuat stigma itu. Misalnya, polemik kenaikan gaji DPR yang beredar luas pada Agustus 2025, memicu kemarahan karena dianggap tidak memiliki urgensi dan tidak berempati pada kondisi rakyat.

Selain itu, publik masih mengingat skandal korupsi BTS Kominfo yang menyeret mantan Menkominfo Johnny G. Plate menjadi sebuah kasus besar yang mencuatkan dugaan adanya keterlibatan jaringan politik di Senayan. Belum lagi isu politik uang dalam pemilu legislatif serta praktik lobi-lobi gelap dalam pengesahan undang-undang, yang semakin mengikis legitimasi DPR.

Dengan sederet catatan buram tersebut, wajar bila publik bersuara lantang. Namun, apakah pembubaran DPR merupakan solusi?

Mengapa DPR menjadi lembaga yang bermasalah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline