Lihat ke Halaman Asli

Rekonstruksi Metodologi Studi Islam yang Integratif

Diperbarui: 10 Oktober 2025   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Blue Mosque, di Istanbul Turki(Shutterstock/Luciano Mortula )

Pendahuluan

Kajian terhadap Islam merupakan salah satu bidang studi yang terus mengalami perkembangan, baik di dunia Muslim maupun di Barat. Di kalangan umat Islam sendiri, studi ini berangkat dari keyakinan bahwa Islam bukan sekadar sistem kepercayaan, tetapi juga pedoman hidup yang mencakup seluruh aspek keberadaan manusia—spiritual, moral, sosial, dan intelektual. Karena itu, studi Islam memiliki metodologi ilmiah yang bertujuan memahami ajaran Islam secara menyeluruh, dengan menempatkan wahyu sebagai sumber utama pengetahuan sekaligus menyinergikannya dengan akal dan pengalaman manusia.

Sebaliknya, dalam tradisi akademik Barat, studi Islam sering kali dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang dipengaruhi oleh paradigma sekular, rasional, dan historis. Pendekatan ini menganggap agama sebagai fenomena sosial semata, yang bisa dikaji seperti budaya atau sejarah manusia lainnya. Akibatnya, muncul kecenderungan untuk menilai Islam dengan standar rasionalitas Barat, tanpa memperhitungkan dimensi spiritual dan transendentalnya. Fenomena ini menimbulkan bias epistemologis, karena Islam tidak lagi dilihat dari sudut pandang keimanannya, tetapi semata-mata sebagai objek penelitian luar.

Oleh karena itu, penting dilakukan penilaian kritis terhadap cara pandang Barat terhadap Islam. Melalui kritik dan pembaruan metodologi, para sarjana Muslim berupaya menghadirkan pendekatan yang lebih seimbang—yaitu pendekatan yang tetap ilmiah, tetapi tidak kehilangan nilai spiritual wahyu.

Latar Historis Studi Islam di Barat

Perkembangan studi Islam di Barat dapat ditelusuri sejak era orientalisme pada abad pertengahan. Pada masa itu, motivasi para orientalis tidak hanya ilmiah, tetapi juga bercampur dengan kepentingan politik dan agama, terutama dalam konteks persaingan antara dunia Islam dan Eropa Kristen. Banyak karya orientalis lahir bukan untuk memahami Islam secara objektif, melainkan untuk menjelaskan, bahkan membenarkan, superioritas peradaban Barat atas Timur.

Dalam perkembangannya, kajian orientalis menghasilkan banyak penelitian penting tentang bahasa Arab, sejarah Islam, dan budaya Timur Tengah. Namun, sebagian besar karya tersebut tetap menilai Islam melalui kerangka berpikir Barat. Misalnya, Al-Qur’an dianggap hanya sebagai teks sejarah, bukan wahyu yang memiliki dimensi ilahiah; Nabi Muhammad dipandang sebagai tokoh sosial, bukan rasul pilihan Allah; dan hukum Islam dianalisis hanya sebagai produk budaya Arab, bukan sistem etika universal.

Harun Nasution menegaskan bahwa orientalisme kerap mengabaikan aspek spiritual dan keimanan Islam. Akibatnya, hasil-hasil kajian mereka sering kali bersifat reduksionis—menyederhanakan Islam hanya dalam bentuk formal dan empiris. Pendekatan seperti ini, meskipun memberi kontribusi ilmiah, tetap tidak mampu menggambarkan Islam secara utuh.

Kritik terhadap Pendekatan Barat

Kritik terhadap pendekatan Barat banyak disuarakan oleh para sarjana Muslim modern, baik dari dunia internasional maupun Indonesia. Azyumardi Azra dan Amin Abdullah, misalnya, menyoroti kelemahan pendekatan orientalis yang terlalu menekankan aspek historis dan filologis, tetapi kurang memperhatikan konteks sosial, budaya, serta dimensi moral-spiritual Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline