Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

Guru Pacu Kompetensi, Penilainya Siapa?

Diperbarui: 1 Desember 2017   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Selama ini ada anggapan salah satu biang keladikemunduran pendidikan sekolah di Indonesia adalah bergantinya kurikulum setiap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) berganti. Padahal kalau dilihat dari materi kurikulum dan pengajarnya yang sudah berpengalaman, tidak ada perubahan significant yang ada. Jadi secara umum kisi-kisinya sama, tapi justru yang jadi kendala kreativitas guru yang "itu-itu saja" saat di kelas sehingga ada anggapan seperti jalan yang ditempat presentasi dan cara mengajarnya.

Dikutip dari Kompas Cetak, Pendidikan dan Kebudayaan, dengan judul artikel "Pacu Kompetensi secara Sistematis", 28 November 2017, Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Padang, Alwen Bentri, yang menyatakan Kualitas Guru ditentukan oleh Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Pengawas dan keterlibatan Dinas Pendidikan.  

Kelima hal tadi terkait satu lama lainnya dan tidak bisa berdiri sendiri.  Artinya Guru seperti prajurit atau ujung tombak di lapangan, komandannya tidak ada, jadi kinerja dan performanya tidak bisa diukur sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan keahlian yang didapat. Bisa jadi seminar, training, upgradingdan lainnya tetap jalan, tapi hasil pelatihan tersebut tidak bisa dipraktekkan dan dikembangkan, karena tim penilainya tidak ikut mengupdate,tidak melakukan evaluasi dan juga tidak punya waktu untuk itu.

Ide sertifikasi guru lewat UKG (Uji Kompetensi Guru) memang baik untuk melihat kemampuan kognifif guru , tapi ini hanya untuk salah satu faktor karena guru yang komplit (a full-fledged teacher) seharusnya juga mempunyai keterampilan, kreativitas, inovasi, perilaku dan keteladanan. Jadi bila sertifikasi guru dengan materi yang hanya salah satuskill saja , hasilnya tidak banyak perubahan pada perubahan pendidikan yang diinginkan dan hanya "berhenti" sampai disitu, sama seperti sebelumnya.

Apalagi ada penelitian yang dilakukan Smeru Institute bekerja sama dengan Universitas Cambridge, Inggris pada tahun 2014 yang menyatakan walaupun kesejahteraan guru meningkat , wajib belajar 12 gahun belum tercapai.  Ditambah faktor menurut  penelitian ini masih ada guru yang absen mengajar bahkan ada sekolah dengan guru yang lengkap sekalipun , mutu pendidikan yang diberikannya tidak terlalu optimal.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad juga mengatakan kenaikan tunjangan profesi guru ternyata tak linear dengan kenaikan kompetensi guru. Dilihat dari anggaran Tunjangan Profesi Guru di Indonesia berdasarkan APBN mengalami kenaikan dari Rp.60,5 trilyun tahun 2014 menjadi Rp.69.8 trilyun pada tahun 2016 (Litbang Kompas).

Kembali ke pengukuran kompetensi guru janganlah pihak stake holder pendidikan baik Dinas Pendidikan, Pengawas Sekolah dan Kepala Sekolah menarik diri dari tanggung-jawabnya karena ini salah satu tugas mereka sehingga idealnya bila terjalin,  link and match antara apa yang diperlukan masyarakat dan juga apa yang menjadi tanggung jawab sekolah dan bukannya berjalan sendiri-sendiri.

Usulan pengamat pendidikan Doni Koesoema agar peningkatan kompetensi guru dilakukan secara sistematis dengan melibatkan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan dan Komunitas Guru per mata pelajaran patut dipertimbangkan,sehingga sasaran yang dituju tepat dan terukur dan tidak terkesan sporadis.

"Live as if you were to die tomorrow. Learn as if you were to live forever." Mahatma Gandhi (Hiduplah kamu seolah kamu besok mati. Belajarlah kamu seolah kamu hidup selama-lamanya)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline