Lihat ke Halaman Asli

Intan Nuraini

Mahasiswa

Bahasa Indonesia 'Fast Fashion' Trend Singkatan dan Emotikon yang Selalu Berganti

Diperbarui: 23 Juli 2025   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di era digital yang serbacepat ini, yang sering kita sebut fast fashion bukan hanya tentang pakaian yang diproduksi massal dan berubah tren dalam sekejap. Fenomena ini juga merambah cara kita berkomunikasi, terutama di kalangan anak muda. Bahasa percakapan, khususnya di media sosial, menjadi cerminan nyata dari sifat fast fashion yang selalu berganti, serbacepat, dan kadang tanpa disadari, berdampak besar.

Pernahkah Anda merasa ketinggalan memahami singkatan atau emotikon terbaru yang dipakai teman Anda? Atau mungkin bingung dengan "bahasa gaul" yang muncul tiba-tiba? Itu adalah contoh nyata bagaimana tren komunikasi bekerja mirip dengan fast fashion.

Singkatan, dulu EGP, Kini Sasimo. 

Dulu mungkin kita akrab dengan singkatan seperti "EGP" (Emang Gue Pikirin) atau "Masbulo" (Masalah Buat Lo). Singkatan-singkatan ini muncul karena kebutuhan efisiensi dalam mengetik pesan. Namun, seiring waktu, singkatan berevolusi. Kata-kata baru, frasa gaul, dan bahkan gabungan bahasa Inggris-Indonesia menjadi populer.

Contoh singkatan: "sasimo" (sana-sini mau), "komuk" (kondisi muka), atau "salbrut" (salting brutal) Singkatan dan istilah ini mendadak viral dan banyak digunakan di percakapan sehari-hari maupun unggahan media sosial. Tak lama kemudian, mungkin muncul lagi frasa lain yang menggantikan posisinya. Pola ini menunjukkan bagaimana siklus hidup singkatan bisa sangat pendek, sama seperti tren mode busana.

Emotikon: Ekspresi Instan yang Tak Pernah Diam

Emotikon atau emoji juga mengikuti pola serupa. Dari yang sederhana seperti 😄 dan 😂, kini kita punya berbagai emotikon yang lebih kompleks dan spesifik. Ada emotikon yang menggambarkan emosi tertentu, ada yang menunjukkan aktivitas, bahkan ada yang jadi "ikon" untuk kelompok atau komunitas tertentu.

Yang menarik adalah bagaimana makna emotikon bisa bergeser seiring waktu. Emotikon yang awalnya bermakna netral bisa jadi memiliki konotasi tertentu di kalangan tertentu, atau bahkan menjadi "basi" dan tidak lagi relevan. Bayangkan saja, beberapa tahun lalu emotikon ini: 😭 mungkin hanya berarti menangis. Sekarang, bisa berarti senang, gembira, menangis terharu, menangis karena sesuatu sangat lucu, atau bahkan menunjukkan rasa putus asa yang berlebihan. Ini menunjukkan bagaimana fleksibilitas makna emotikon mencerminkan kecepatan perubahan dalam fast fashion.

Dampak Negatif dan Positif

Fenomena fast fashion dalam komunikasi ini memiliki dua sisi. Sisi positifnya, komunikasi menjadi lebih dinamis, ekspresif, dan seringkali lebih efisien. Kita bisa menyampaikan banyak hal hanya dengan beberapa huruf atau sebuah gambar. Ini juga menciptakan rasa kebersamaan di antara mereka yang "mengerti" tren bahasa tersebut.
Namun, ada sisi negatifnya. Terlalu cepatnya perubahan bisa menyulitkan sebagian orang untuk mengikuti arus, terutama generasi yang lebih tua. Ini juga bisa mengaburkan batas antara bahasa formal dan informal, dan kadang-kadang membuat percakapan menjadi kurang jelas jika tidak semua pihak memahami konteks singkatan atau emotikon yang digunakan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pemakaian berlebihan ini dapat mengikis kekayaan bahasa Indonesia yang sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline