Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Moralisasi Istilah Seputar Zina

Diperbarui: 28 Februari 2016   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika pemerintahan rezim Orde Baru (Orba) menjalankan program resosialiasi dan rehabilitasi (Resos) pekerja seks komersial (PSK) yang ‘praktek’ di tempat-tempat yang diregulasi sebagai lokalisasi selalu disebut pelacuran, tapi belakangan ini muncul gerakan yang memoralisasi kegiatan-kegiatan terkait dengan pelacuran.

Tapi, di sisi lain pemerintah sejak dahulu merendahkan harkat dan martabat manusia pada PSK melalui pemakaian kata-kata dan istilah dalam materi KIE atau komunikasi, informasi dan edukasi (Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).

Bahasa Indonesia mengenal istilah pelacuran yaitu terkait dengan kegiatan ‘menjual’ diri seorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dengan imbalan sejumlah uang. Perempuan yang menerima imbalan disebut pelacur, sedangkan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dan memberikan uang sebagai imbalan jasa disebut laki-laki ‘hidung belang’. Tidak ada kata sebutan yang khas terhadap laki-laki ‘hidung belang’ ini.

Dalam banyak berita di media massa dan media sosial serta ujaran di televisi tidak pernah disebutkan pelacuran, tapi disebut prostitusi.

Maka, muncullah istilah ‘prostitusi online’, ‘prostitusi artis’, lokalisasi prostitusi, dll. Kata ‘prostitusi’ dijadikan sebagai eufemisme (penghalusan kata) sehingga orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi tidak mengalami stigma (cap buruk).

Yang lebih parah di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Dalam sebuah pelatihan “Jurnalisme Empati” penulisan berita HIV/AIDS beberapa wartawan mengatakan bahwa mereka akan ‘dimarahi’ oleh berbagai kalangan jika menulis berita dengan menyebutkan prostitusi. Entah dari mana asal-usulnya kata yang dijadikan padangan pelacuaran adalah ‘esek-esek’. Kata ini bebas nilai karena sema sekali tidak mengacu ke suatu kegiatan.

Laki-laki ‘hidung belang’ pun dengan enteng menjawab pertanyaan ini: “Dari mana, Pak Polan?”

“Dari tempat esek-esek.”

Tidak ada stigma dalam kata prostitusi, karena kata itu tidak mengacu ke pelacur sebagi pelaku dan pelacuran sebagai kegiatan yang melibatkan pelacur dan laki-laki ‘hidung belang’ secara eksplisit.

Tanpa sadar sebagian besar wartawan dan blogger berperan aktif dalam memoralisasi pelacuran sehingga tidak bermuatan negatif dan bebas stigma yaitu dengan memakai kata prostitusi.

Pemakain frasa pekerja seks komersial (PSK) adalah terjemahan dari pedanan kata-kata yang mengacu ke pelacuran, terutama di Barat, yaitu commercial sex worker (CSW) karena ada gerakan yang mendorong pelacuran sebagai jenis pekerjaan formal. Ini mereka lakukan agar PSK memperoleh hak-hak sebabagai pekerja (employe). Beberapa negara sudah memberikan ruang kepada kegiatan pelacuran sebagai bagian dari dunia kerja, seperti perlindungan, kesehatan, kesejahteraan, dll. Dengan posisi itu para PSK pun dibebankan kewajiban bak layaknya pekerja formal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline