Lihat ke Halaman Asli

Indri Ngesti

Aktivis Muslimah

Nasib Rakyat Pasca Terbitnya UU Ciptaker

Diperbarui: 11 Oktober 2020   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang.

Mayoritas dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Ciptaker ini. Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker.

Demokrat menyatakan RUU Cipta Kerja memiliki cacat baik secara substansial maupun prosedural. Marwan mengungkapkan dalam pembahasannya RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat, pekerja, dan civil society. (waspada.co.id, 05/10/2020)

Polemik  UU Ciptaker

Poin pertama terkait upah minimum. Apabila membandingkan isi UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada sejumlah aturan yang berubah terkait upah minimum yaitu dihapusnya Pasal 89 ayat 1 huruf (b) yang mengatur upah minimum sektoral. 

Penghapusan ini tercantum dalam Bab IV Ketenagakerjaan poin 26. Penghapusan upah minimum sektoral akan mengakibatkan sektor-sektor yang memiliki income besar akan memberikan gaji mengacu pada upah minimum regional, padahal mereka memiliki laba yang sangat besar.

Poin kedua terkait PHK. Pasal 161 UU Ketenagakerjaan mengatur, pengusaha dapat melakukan PHK jika pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur di perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. PHK baru bisa diberlakukan setelah pekerja diberikan surat peringatan hingga tiga kali secara berturut-turut. Pasal tersebut dihapus melalui UU Cipta Kerja.

Sebagai gantinya, dalam UU Cipta Kerja ditambahkan Pasal 154A huruf j yang mengatur hal serupa. Namun, ketentuan mengenai surat peringatan tiga kali berturut- turut tak lagi tercantum dalam ketentuan baru itu. Dikhawatirkan dengan penghapusan ini perusahaan dapat sewenang-wenang memecat karyawannya.

Poin ketiga terkait cuti. Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan, ada aturan perusahaan tertentu memberikan hak cuti atau istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan saat karyawan bekerja pada tahun ketujuh dan kedelapan.

Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan itu direvisi. Hanya disebutkan bahwa perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dalam revisi ini menunjukan bahwa pemberian cuti panjang bukan  lagi kewajiban perusahaan.

Poin keempat terkait amdal. Draf UU Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan terkait amdal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline