Lihat ke Halaman Asli

Momentum Ramadhan, Saatnya Audit kelayakan diri, Pantaskah menyandang predikat Fitri ?

Diperbarui: 20 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Indriana Mei Listiyani

Ramadhan adalah bulan termanis yang begitu dinanti oleh seluruh umat muslim di seantero jagad. Suasana religious, tidak perlu dicari, telah muncul dengan sendirinya dari sudut-sudut  yang  kadang terabaikan. Ada banyak hal yang khas dari bulan ini, mulai dari media (cetak dan elektronik) yang mulai mencari tema-tema ke-islaman, busana syar’I yang mendadak sangat laris di pasaran hingga deretan penjual makanan khas buka puasa yang jarang kita temui pada hari-hari di luar bulan Ramadhan.

Berbicara mengenai audit, akan lekat dengan istilah pemeriksaan. Pemeriksaan bukti-bukti, dan nantinya, hasil pemeriksaan itu akan diwujudkan dengan sebuah opini. Pada suatu lembaga, jika seorang auditor memberikan opini wajar tanpa pengecualian, itu berarti komponen pada lembaga tersebut yang meliputi laporan keuangan, manajemen dan operasionalnya tidak menyimpang dari apa yang seharusnya. Jika ternyata opini yang dikeluarkan adalah wajar dengan pengecualian, berarti pada komponen tertentu dari lembaga tersebut ada yang kurang sesuai dan perlu untuk diadakan perbaikan.

Kita, umat manusia, juga layaknya sebuah lembaga yang terdiri atas bermacam komponen. Bahkan komponen dalam diri manusia berkali lipat lebih kompleks dibandingkan dengan sebuah lembaga. Bukti-bukti untuk kelengkapan audit pada suatu lembaga bisa dilihat secara kasat mata sehingga mudah untuk dinilai. Berbeda dengan manusia, tingkah laku fisik manusia memang kasat mata dan dapat dinilai oleh manusia lain. Namun, manusia mempunyai komponen yang tidak kasat mata yaitu hari dan pikiran. Lalu bagaimana dengan opini dari audit diri? Kita dapat mengeluarkan opini apapun tentang diri kita, namun tentunya kita tau bahwa yang bisa mengeluarkan opini paling independen bagi diri kita adalah auditor kehidupan yang Maha Melihat, Allah SWT.

Idealnya, sebagai manusia, kita seharusnya memeriksa diri sendiri setiap saat. Akan tetapi, moment bulan suci Ramadhan ini adalah bulan special di mana ibadah manusia dijanjikan pahala yang berlipat dibandingkan dengan hari-hari di luar Ramadhan. Umat muslim berlomba untuk mengisi pundi-pundi amal dengan ibadah, baik dalam konteks hubungan dengan Allah (habluminallah) dan juga hubungan dengan sesama manusia (habluminannas).

Bulan inilah saat yang tepat untuk memeriksa seluruh komponen pada diri kita, lalu kita nilai dengan jujur. Saatnya kita melihat layakkah diri kita mendapat predikat orang baik, layakkah kita mengharap kesuksesan dengan kadar upaya yang telah kita lakukan, layakkah kita mendapat pengampunan Allah di hari yang fitri di akhir Ramadhan ini? Setelah meng-audit diri, selanjutnya yang harus kita lakukan adalah tindak lanjut terhadap opini diri. Hal-hal yang masih belum baik, sudah selayaknya kita perbaiki. Jika bulan yang lalu kita merasa belum total dalam menjemput rejeki, sekaranglah saatnya untuk totalitas. Kalau bulan sebelumnya kita masih belum tulus membantu orang yang membutuhkan, bulan inilah saatnya untuk membantu orang sebanyak mungkin. Apapun, jika itu hal yang baik, lakukan saja. Karena momentum Ramadhan ini mahal sekali, moment di mana ibadah sunah dinilai dengan pahala ibadah wajib dan ibadah wajib dinilai dengan pahala yang berlipat.

Hanya kita dan Allah-lah yang tau, opini apa yang pantas kita dapatkan dari semua perbuatan kita. Namun, yang pasti, di dunia ini hanya ada dua sisi yaitu baik dan buruk. Selayaknya dua balasan yang Allah janjikan di akhirat kelak, hanya ada surga atau neraka. Tidak ada tempat diantara keduanya. Wallahu a’lam bish-shawab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline