Bayangkan suasananya: malam itu bintang bersinar cerah, televisi 32 inci di balai dusun sudah disiapkan dengan antena yang diikat di bambu setinggi lima meter. Warga desa, dari anak kecil sampai kakek, berkumpul seperti menanti pengumuman juara kampung.
Suara toa mushala yang biasanya memanggil salat Isya kini malah dipakai pengumuman, “Bapak-bapak, ibu-ibu, malam ini Indonesia main lawan Argentina! Jangan lupa bawa tikar atau kursi!” Semua tertawa, tapi tetap datang membawa tikar atau bangku plastik masing-masing. Suasana jadi seperti hajatan nasional.
Para bapak dengan sarung dan sandal jepit mulai memasang bendera merah putih di setiap tiang listrik. Tak peduli bendera itu hasil daur ulang spanduk caleg, yang penting semangatnya. Di desa, setiap kemenangan selalu dirayakan bersama—kadang lebih heboh dari 17 Agustus.
Dan tentu saja, lapangan voli berubah fungsi jadi “stadion darurat.” Di sana dibentangkan kain putih untuk nonton bareng, pakai proyektor pinjaman dari sekolah. Jika sinyal internet macet, semua serempak teriak, “Restart, restart!” seolah mereka staf teknis FIFA.
Dari Kopi Hitam ke Ritual Semangat Nasional
Kalau orang kota merayakan dengan nonton di kafe modern, orang desa punya ritualnya sendiri: minum kopi hitam pahit tanpa gula. Katanya, biar jantung kuat saat menonton adu penalti. Tak sedikit yang bawa termos sendiri, lengkap dengan singkong rebus dan pisang goreng.
Para ibu sibuk di dapur pos ronda, bikin mie instan untuk “tim suporter dusun.” Setiap kali Indonesia mencetak gol, semua ikut bersorak, dan air mendidih pun tumpah karena kaget. Tapi tak ada yang marah—semuanya tertawa dalam bahagia bersama.
Kalau pertandingan digelar dini hari, ayam-ayam jantan pun ikut salah paham. Mereka berkokok lebih cepat dari biasanya, dikira sudah subuh. Kakek-kakek bangun lebih awal, menatap langit, lalu berkata, “Lho, kok tumben, rame amat orang salat tahajud?”
Bahkan anak-anak kecil pun membuat yel-yel sendiri di depan rumah. Ada yang bawa ember, ada yang tabuh panci, ada mengerincingkan besi bekas, seperti marching band dadakan. Setiap suara jadi alat dukung—karena di desa, meriah tak perlu mahal, cukup ramai dan kompak.
Harapan, Humor, dan Nasionalisme versi Sawah
Di sawah, cerita tentang Piala Dunia juga jadi topik serius. Petani yang biasanya membicarakan pupuk dan musim tanam kini bahas formasi 4-3-3 dan peran bek sayap. “Kalau saya jadi pelatih, Witan jangan main terlalu dalam,” kata seorang petani dengan cangkul di tangan.
Obrolan bola itu kadang diselingi tawa. Seseorang nyeletuk, “Kalau Indonesia lawan Inggris, wasitnya ngerti bahasa kita nggak?” Semua terpingkal. Tapi di balik canda itu, ada rasa bangga yang tak bisa dijelaskan: bangsa mereka kini sejajar di panggung dunia.