Suparno tak pernah menyangka, di usianya yang hampir 50 tahun, ia akan kembali merasakan pahitnya mencari pekerjaan dari nol. Selama lima tahun terakhir, ia bekerja sebagai tenaga kontrak di sebuah lembaga di bawah salah satu kementerian, memastikan keamanan di lingkungan kerjanya. Tapi beberapa minggu yang lalu, kabar tak sedap menghampirinya, ia menjadi salah satu dari tenaga kerja kontrak yang akan "dirumahkan". Alasannya? Efisiensi anggaran. Anak Suparno yang duduk di bangku SD kini termasuk dalam jutaan anak yang akan menerima makan siang gratis dari pemerintah. Suparno seharusnya bersyukur, tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Bukankah ia dulu mampu memberi makan anaknya tanpa bantuan negara?
Berderma memang menggoda. Bukan sekadar mengundang pujian, tetapi juga memberi perasaan utuh sebagai manusia yang baik. Tak heran jika banyak politisi---boleh jadi---tetiba menjadi dermawan setiap lima tahun sekali. Kita melihat bagaimana janji-janji sosial selalu menjadi daya tarik dalam setiap pemilu. Demikian juga dengan program makan siang gratis, yang belakangan diganti istilahnya menjadi "makan bergizi gratis". Betapa mulianya program ini, hingga Gus Miftah, penceramah yang sempat viral karena memaki seorang penjual teh di pengajiannya, menyebut bahwa program ini "mungkin terinspirasi dari Nabi Ibrahim."
Dalam kampanye pilpres yang lalu, Presiden Prabowo Subianto berkali-kali berdoa dalam pidatonya, "Tuhan, sebelum Kau panggil, berilah kesempatan untuk memberi makan seluruh anak Indonesia." Sebuah tekad yang mulia. Untuk mewujudkan tekad tersebut, salah satu langkah pertama yang dilakukan pemerintahannya dalam 100 hari adalah efisiensi anggaran belanja negara yang memangkas banyak anggaran kementerian dan lembaga. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemotongan belanja kementerian dan lembaga mencapai Rp50 triliun pada 2024. Efisiensi ini disebut-sebut sebagai langkah strategis untuk membiayai program-program prioritas pemerintahan baru.
Namun, dalam beberapa kasus, efisiensi anggaran ini disertai dengan dirumahkannya tenaga kerja kontrak di berbagai kementerian dan lembaga. Mereka yang telah bekerja bertahun-tahun dengan status yang tak jelas, kini tak lagi memiliki pekerjaan. Menurut data Kemenpan RB, ada lebih dari 2,3 juta tenaga honorer yang berpotensi terdampak kebijakan penghapusan tenaga kontrak pada 2024. Ini berarti ada jutaan keluarga yang kini harus mencari sumber penghidupan baru.
Di sisi lain, langkah efisiensi ini justru bisa menjadi faktor keberhasilan program makan siang gratis. Dengan diberhentikannya para tulang punggung keluarga ini, berapa banyak anak Indonesia yang kini benar-benar membutuhkan makan siang gratis? A bless in disguise. Dahulu, orang tua bekerja agar anaknya bisa makan. Kini, mereka kehilangan pekerjaan agar anaknya bisa diberi makan oleh negara.
Sementara jutaan tenaga kerja kontrak dirumahkan atas nama efesiensi, kenyataannya, kita masih bisa melihat para pejabat hilir mudik dengan pengawalan untuk sekedar menghadiri jamuan-jamuan, yang mungkin tak segratis makan siang, bergizi ataupun tidak.
Tapi pandangan tadi mungkin terlalu buram. Bukankah dengan diambil alihnya tugas memasak oleh negara, ada banyak ibu rumah tangga yang kini punya lebih banyak waktu luang untuk me time ataupun pengembangan diri? Meski, kemarin-kemarin harus rela mengantri karena kelangkaan gas LPG, dan memutar otak mengelola keuangan karena harga-harga kebutuhan pokok di pasar semakin tak pasti di tengah laju inflasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI