Oleh: Iman Sadewa Rukka -- Jurnalis Advokasi dan Pendamping Petani
Saat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, akhirnya mengeluarkan ultimatum kepada perusahaan sawit untuk menyerahkan kebun plasma 20 persen kepada masyarakat, saya menarik napas panjang. Ada rasa lega, ada pula rasa haru. Tapi lebih dari itu, saya langsung terbayang wajah-wajah petani yang pernah saya temui. Mereka yang hidup di tengah konflik agraria, yang bertahun-tahun disakiti, tapi tak pernah berhenti berharap.
"Kalau ada perusahaan yang nggak mau plasma, akan kami tegur. Kalau nggak nurut juga, akan kami cabut HGU-nya," tegas Nusron, Kamis (24/4/2025). Kalimat itu bukan sekadar ancaman hukum, tapi sebuah pengakuan negara bahwa masyarakat selama ini benar.
Kisah Lamisi: Dikriminalisasi Karena Memanen Miliknya Sendiri
Saya teringat pada Lamisi, seorang petani berusia 74 tahun dari Desa Lariang, Pasangkayu. Ia memperjuangkan lahan enclave seluas 200 hektar dan 15 hektar lahan milik pribadinya. Sudah tiga kali ia harus merasakan dinginnya lantai penjara, hanya karena memanen buah sawit dari pohon yang ia tanam sendiri.
"Buah itu milikku. Tapi aku dituduh mencuri," katanya pelan. Matanya kosong, tapi tidak mati. "Seandainya ada keadilan di langit sana, aku akan pergi ke sana." Kalimat itu menusuk. Lamisi bukan hanya kecewa pada hukum, tapi juga pada tanah yang seharusnya menjadi rumahnya sendiri.
Kriminalisasi terhadap petani seperti Lamisi adalah luka panjang yang tak bisa disembuhkan hanya dengan selembar surat menteri. Tapi setidaknya, ultimatum Nusron menjadi penanda: bahwa luka ini mulai diakui.
Harapan dari Puwa Unu: Cahaya Itu Akhirnya Datang
Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Puwa Unu (62), adalah warga lain yang selama ini ikut mengorganisir perlawanan damai di desa. Ia menyimpan keyakinan, bahwa perubahan itu mungkin. Sejak saya hadir di desa sebagai jurnalis sekaligus pendamping, ia mulai melihat arah yang lebih jelas.
"Pak Iman Sadewa datang ke desa ini membawa cahaya," katanya suatu malam dalam rapat warga. "Pergerakan ini mulai jalan. Tapi kadang saya kecewa, karena ada teman-teman seperjuangan yang sempat lupa arah. Mereka tak melihat, bahwa pendamping kita sudah berjibaku siang malam, mencari celah, menembus tembok kekuasaan."