Genap dua tahun saya tinggal di desa. Sebagai orang yang bahkan dari bayi terbiasa dengan kehidupan kota, dan tinggal di perumahan, banyak hal yang baru saya sadari tentang bagaimana kehidupan di desa dalam kesehariannya.
Awalnya saya berpikir, hidup di desa itu santai. Awal-awal pindah, saya lihat tetangga bisa duduk-duduk santai sambil bercakap-cakap dengan tetangga yang lain di pagi hari. Atau, pemandangan serupa juga bisa saya jumpai saat sore hari.
Sementara saya yang harus bekerja di rumah, begitu sulit melakukan itu semua. Selesai mengerjakan urusan rumah, harus membereskan kerjaan. Saat anak-anak pulang sekolah, fokus saya pun berganti ke mereka.
Hingga suatu ketika, saya menyadari ada banyak tetangga saya yang hidupnya tidak sesantai yang saya kira.
Toko Kelontong yang Buka 17 Jam Sehari
Saat sedang memiliki keterbatasan uang untuk membeli sesuatu, saya datang ke tetangga yang memiliki toko kelontong.
Sambil mengantre dengan pembeli lain yang lebih dulu, saya membatin, "Enak ya punya toko kayak gini. Semua yang dibutuhkan bisa tinggal ambil di toko."
Waktu itu saya memang ingin membeli sesuatu namun hanya bisa sedikit karena uangnya terbatas. Saya lihat, tetangga tersebut melayani sambil beberapa kali menguap.
Belum sempat saya tanya, giliran melayani saya, ia bercerita, "Ngantuk Nte. Tadi sudah bunyi ya rasulullah, aku baru bangun. Itu udah kesiangan. Seharusnya bangun jam 2 buat beres-beres, atau masak. Trus gini ini baru tutup ya nanti jam 10 malam. Kalau anakku nggak kuliah, baru aku bisa istirahat duluan," tuturnya.
Buat yang belum tahu maksud 'ya rasulullah' adalah pengantar sebelum adzan yang biasa dikumandangkan banyak masjid di Jawa Timur. Banyak yang bilang, kidung tersebut dinyanyikan Gus Dur. Padahal bukan, hanya suaranya saja yang mirip.