Lihat ke Halaman Asli

Syamsurijal Ijhal Thamaona

Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Bom Bunuh Diri, Kegilaan Atas Nama Agama

Diperbarui: 29 Maret 2021   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

via islamtimes.org

Bom tetiba saja meledak di depan Gereja Hati Kudus Yesus Yang Maha Kudus Katedral Makassar.  Dua orang yang ditengarai sebagai pelaku bom bunuh diri, meledakkan dirinya di depan Gereja tersebut. Kedua pelaku dipastikan tewas dalam ledakan itu.

Perayaan Minggu Palma yang memang sejak pagi berselimut mendung yang murung, seakan bertambah muram dengan peristiwa bom bunuh diri itu. Tentu peristiwa ini tidak boleh melemahkan kebersamaan sebagai warga Makassar dan rakyat Indonesia secara umum, tetapi sekaligus juga menjadi peringatan kesekian kalinya, bahwa para teroris nyata masih ada di tengah-tengah kita. 

Hal ini membuktikan bahwa terorisme bukanlah konspirasi, sebagaimana dianut para pencinta teori konspirasi. Dan sudah pasti bukan pula sekadar pengalihan isu, seperti diyakini para kaum "nyinyirisme."

Terorisme memang telah menjadi paham yang dianut sekelompok orang (tidak hanya kelompok agama), sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan masalah. Pilihan yang dianggap paling baik dan satu-satunya dalam mengatasi multi-persoalan.

Para penganut terorisme ini, meminjam istilah Gambetta & Hertog (2016), punya karakter simplisme. Karakter yang menyederhanakan penyebab sekaligus penyelesaian masalah yang sejatinya multi-faktor. Mereka memandang penyebab masalah secara tunggal dan sekaligus melihat hanya satu pula jalan keluarnya. Jalan keluar satu-satunya yang dipilih itu adalah kekerasan. Mirip sebuah iklan; apa pun makanannya, minumannya teh botol sosro (eits...tentu iklan ini jauh lebih baik karena hanya mengajak minum, bukan bunuh diri).

Para sarjana, peneliti dan pengamat telah melakukan riset dan kajian untuk memahami faktor munculnya terorisme ini, khususnya terorisme klan-klan kecil, tetapi semua penjelasan rupanya tidak tunggal. Beberapa penjelasan pun, sering kali juga bertolak belakang dengan fakta-fakta tertentu.

Wiktorowicz (2004), misalnya, menyebut daftar penyebab terorisme antara lain: malaise ekonomi, kegagalan modernisasi sekuler, mobilitas sosial tertutup, kekalahan Arab oleh Israil pada 1967, dan alienasi politik. Kemiskinan juga kerap kali disebut-sebut sebagai penyebab.

Namun, sering kali penyebab itu tidak tepat jika ditarik pada horizon yang lebih luas. Kemiskinan dan pengangguran mungkin di beberapa kasus terlihat berkolerasi dengan terorisme. Tetapi bagaimana misalnya menjawab kasus Abdul Subhan Qureshi, seseorang teroris yang menyerang dan meledakkan kereta api di Mumbai pada 11 Juli 2006? Dia adalah anak muda kaya, pemegang proyek Wipro sejak 1999.  Atau Abdulmuttalab, bomber 'celana dalam',  yang berasal dari keluarga kaya Al-hajj Umaru Mutallab. 

Karena itulah Kruegar menyatakan, jika pun kemiskinan atau pengangguran menjadi bagian dari penyebab terorisme, maka bukanlah penyebab pertama dan utama. Faktor ini baru muncul pada generasi kedua dan hanya menjadi pemicu untuk semakin terlibat secara dalam di ideologi terorisme tersebut. 

Tentu saja seluruh daftar penyebab itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal itu dapat membantu untuk memahami postur dari masing-masing gerakan terorisme tersebut  sambil sekaligus melihat peta sosial gerakan terorisme di tiap teritori dan memahami konteks masing-masing.

Teologi Marah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline