Lihat ke Halaman Asli

Indri Permatasari

TERVERIFIKASI

Landak yang hobi ngglundhung

Cerpen | Pewaris

Diperbarui: 20 Oktober 2017   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: dok.pribadi

Aku tergeragap, kurasakan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Jantung terasa berdenyut lebih cepat dari biasanya, rupanya mimpi buruk terus mencengkeram meski di siang hari. Tak kuasa lagi kuteruskan tidurku. Dengan langkah gontai kuambil jaket, menstarter motor tua kebanggaan dan bergegas pergi ke rumah sakit.

***

Kuamati wajah keriput yang terlentang tak berdaya di hadapan. Nafasnya memburu satu-satu, badan yang kurus kering makin terlihat menyedihkan. Meski semua alat penyokong kehidupan masih tertancap, namun mata itu tak pernah lagi terbuka dan mulut itu tak lagi kuasa bersuara.

Kukatupkan kedua tangan menutupi wajahku yang basah. Teringat pertengkaran hebat dua hari lalu yang berakhir dengan kepergian Dian dengan Gilang yang menangis di gendongannya. Aku tak bisa menyalahkan mereka yang akhirnya memilih berpaling. Entah sudah berbulan lamanya aku tak pernah lagi memberikan materi dan perhatian yang cukup kepada mereka. Hampir seluruh waktu maupun penghasilan yang tak seberapa habis untuk biaya pengobatan bapak di rumah sakit.

***

Kuamati wajah keriput yang terlentang tak berdaya di hadapan. Nafasnya memburu satu-satu, badan yang kurus kering makin terlihat menyedihkan. Meski semua alat penyokong kehidupan masih tertancap, namun mata itu tak pernah lagi terbuka dan mulut itu tak lagi kuasa bersuara

Meski Bapakku menyimpan sendiri kisah pahitnya tapi aku melihat sendiri saat itu. Gerimis makin menderas di luar, hasrat ke belakang membuatku yang berumur sembilan terpaksa meninggalkan peraduan. Di kamar belakang dengan cahaya temaram kulihat bapak bicara lirih dengan sosok kurus kering yang terbaring tak berdaya di atas dipan lapuk dan bau. Entah apa yang bapakku bicarakan, karena setahuku kakek sudah lama tak pernah bisa bicara,tubuhnya sudah lumpuh total, bahkan bernafaspun kesulitan.

Adegan selanjutnya membuat badanku gemetar tak bersuara di balik pintu. Bapak mengambil bantal dan menutupkannya perlahan tepat di wajah kakek sambil menangis tak bersuara. Tanpa perlawanan, kulihat dada kakek tak lagi tersengal naik turun. Ayah menaruh kembali bantal yang dipegangnya dan pergi ke kamarnya.

Esok harinya kakek dikubur, Ayah menangis tersedu, Ibu yang sehari-hari bertengkar dengan Ayah karena tak pernah lagi mendapat uang belanja pun hanya tunduk terdiam, para tetangga berdatangan mengucap bela sungkawa dan berharap ayah sebagai anak satu-satunya ikhlas ditinggalkan karena toh kakek sudah lama menderita. Aku hanya menatap kosong ke liang lahat yang sudah separuh tertimbun.

***

Kuamati wajah keriput yang terlentang tak berdaya di hadapan. Nafasnya memburu satu-satu, badan yang kurus kering makin terlihat menyedihkan. Meski semua alat penyokong kehidupan masih tertancap, namun mata itu tak pernah lagi terbuka dan mulut itu tak lagi kuasa bersuara

Kubelai lembut pipi kisut itu, aku menangis tergugu dalam diam, haruskah aku menjadi pewaris ayahku?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline