Lihat ke Halaman Asli

Iqbal Iftikar

Penulis Wannabe

Cemas Akan Kebencian

Diperbarui: 6 September 2019   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan saya adalah terlalu mudah cemas saat mendapatkan masukan negatif. Sebagai contoh, saya sangat cemas saat seseorang menyindir saya secara langsung (melalui perkataan) maupun tidak langsung (melalui gestur dan tindak tanduk).

Kecemasan pada diri saya tidak hanya muncul pada saat orang lain berkata negatif tentang saya. Kecemasan juga muncul saat seseorang memberikan komentar negatif tentang seseorang. Untuk yang satu ini, saya masih bisa menerima komentar negatif yang dibalut unsur komedi dan/atau sesuai dengan perspektif saya (bias).

Sebagai contoh, saat ramai-ramai pemilihan presiden awal tahun ini saya merasa sangat cemas dan gelisah melihat perseteruan antara dua kubu pendukung pasangan capres-cawapres. Kejadian tersebut diperparah keadaan lingkungan saya yang fanatik terhadap satu capres sampai menjelekkan capres lainnya.

Kenapa saya harus mengawali tulisan ini dengan kecemasan saya?

Karena saya ingin menceritakan kecemasan yang baru saja saya alami saat khutbah Jumat tadi siang. Khatib mengawali khutbah dengan materi yang sangat lugu. Ia berkata bahwa masih banyak anak muda yang tidak bisa membedakan antara Idul Fitri dan Tahun Baru Hijriyah (sampai saat ini saya masih heran kenapa khatib bisa berpikir demikian).

Dari mukadimah yang membuat saya tersenyum heran, khatib mengajak para jamaah untuk meningkatkan iman dan taqwa terutama generasi muda. Saya mengangguk-angguk saja. Toh, premis khutbah Jumat selalu "iman dan taqwa".

Setelahnya, khatib menyinggung kasus disertasi mahasiswa UIN Yogya yang sedang ramai diperbincangkan. Sayangnya, dari awal khatib langsung mencap penulis disertasi sebagai "musuh agama Islam" yang telah "melecehkan agama Islam". Oleh karena itu, walau pun sudah ada klarifikasi dari pihak UIN dan permohonan maaf dari penulis, penulis harus "diadili sesuai hukum yang berlaku".

Khatib mengangkat suaranya saat menuding dan mempertanyakan keislaman penulis. Setiap tuduhan negatif yang dikeluarkan khatib menimbulkan kecemasan dalam pikiran saya. Ingin sekali rasanya berdiri dan meninggalkan masjid sesegera mungkin. Jika saya berani, mungkin malah ingin menginterupsi khutbah saat itu juga.

Setelah khutbah selesai, saya tertegun. Saya mengerti niat khatib menyampaikan khutbahnya baik: untuk menghindarkan generasi muda dari sesat aqidah. Namun, penyampaiannya yang (saya rasa) penuh amarah dan emosi membuat saya cemas. Selain itu, penggambaran dan tuduhan "musuh Islam" kepada penulis bagi saya terlalu berlebihan.

Sesungguhnya diri ini tidak mempunyai kapasitas untuk berkomentar tentang kasus kontroversial itu. Mungkin opini dari profesor Ismail Fajrie Alatas bisa menjadi pembuka mata bahwa apa yang dibahas penulis dalam disertasinya memiliki "ambiguitas kesarjanaan".

Hal utama yang ingin saya sorot dan penyebab utama kecemasan saya, juga mungkin Anda, adalah pentingnya mengolah suatu informasi sebelum menyampaikannya ke ruang publik. Saringlah apa yang kita dapatkan sebelum membagikannya. Perbanyak proses penyaringan dengan menanyakan beberapa hal sebelum berucap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline