Lihat ke Halaman Asli

Refleksi: Kritik Walid Terhadap Budaya Budaya Religiusitas di Indonesia

Diperbarui: 10 April 2025   04:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Google

Walid bukan kritik terhadap agama. Ia adalah perwujudan ekstrem dari wajah agama yang dipelintir: agama sebagai panggung, sebagai sistem kuasa, sebagai instrumen legitimasi untuk membungkam, bukan membebaskan. Dalam tubuh dan jubahnya, semua elemen religius ada tetapi maknanya telah dikosongkan dan diisi ulang oleh hasrat untuk disembah.

Budaya religiusitas di Indonesia adalah lahan subur bagi tokoh seperti Walid tumbuh. Ia tak lahir dari ruang hampa. Ia dilahirkan oleh masyarakat yang lebih mudah percaya pada jubah daripada akal, pada simbol daripada isi, pada "ustaz viral" daripada etika yang sepi. Di tanah ini, kebodohan spiritual dijaga oleh tradisi dan dijustifikasi oleh rasa takut akan azab.

Maka Walid tak perlu banyak meyakinkan. Ia hanya perlu terlihat cukup saleh, cukup tenang, cukup fasih. Ia tak harus benar, ia hanya perlu terdengar benar. Dan itulah kelemahan religiusitas kita: terlalu mudah terpesona oleh formalisme. Kitab suci dibaca tanpa direnungkan. Zikir dilantunkan tanpa perenungan. Ritual dilaksanakan tanpa tujuan selain gengsi sosial.

Di tengah kondisi itulah Walid menjadi cermin yang tak enak ditatap. Ia mengajarkan agama tanpa logika, spiritualitas tanpa pertanggungjawaban. Ia menciptakan "pernikahan batin" atas nama wahyu, dan pengikutnya manut, karena yang ilahi lebih mereka percaya daripada yang manusiawi. Logika dibungkam, keraguan dianggap dosa, dan pertanyaan adalah bentuk pembangkangan.

Ironisnya, kritik terhadap Walid justru memantul balik ke masyarakat yang membiarkannya muncul. Mereka yang membenci Walid adalah mereka yang selama ini memupuk subur budaya religius yang anti-kritis, anti-refleksi, dan anti-pertanyaan. Walid hanyalah gejala, bukan penyakitnya. Penyakitnya adalah budaya keberagamaan yang memanjakan kemalasan berpikir.

Di negeri ini, iman sering dibentuk lebih banyak oleh rasa takut daripada kesadaran. Walid tahu itu. Dan ia mengeksploitasinya dengan cerdik. Ia tak memaksa pengikutnya berpikir, cukup membuat mereka merasa "aman". Dan dalam masyarakat yang letih mencari makna, rasa aman jauh lebih laku daripada kebenaran.

Maka kritik Walid terhadap budaya religiusitas bukanlah seruan reformasi. Ia justru adalah produk mutakhir dari religiusitas itu sendiri; versi karikatural yang memperlihatkan bagaimana agama bisa dibajak oleh siapa pun yang tahu cara memainkan simbol. Dan jika kita merasa terganggu oleh Walid, mungkin karena kita sedang melihat refleksi paling jujur dari apa yang selama ini kita sebut "kesalehan".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline