Lihat ke Halaman Asli

Sektor Industri Mengapa Loyo?

Diperbarui: 4 April 2017   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertumbuhan industri pengolahan secara nasional pada Triwulan I tahun 2016 ini ternyata hanya 4,59%. Pertumbuhan industri pengolahan non-migas tumbuh lebih rendah, yaitu 4,46%. Dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang sebesar 4,92%, pertumbuhan sektor industri manufaktur itu terlihat loyo. Ini adalah perkembangan yang kurang menggembirakan.

Mengapa perlambatan pada Triwulan I tahun ini bisa terjadi? Beberapa penjelasan dapat disampaikan di sini. Pertama, perlambatan di awal tahun merupakan bagian dari siklus tahunan. Permintaan pasar terhadap barang-barang industri biasanya lambat pada awal tahun kemudian meningkat hingga akhir tahun. Pada awal tahun, belanja pemerintah masih sedikit, menyebabkan permintaan yang rendah untuk barang-barang produksi industri.  Kedua, perlambatan perekonomian dunia tahun 2015 dan awal 2016 berimbas pada permintaan terhadap produk industri Indonesia menurun.   Ketiga, produk-produk impor masih terus membanjiri pasar dalam negeri, menyebabkan produksi dalam negeri terpinggirkan. Sektor industri menyesuaikannya dengan mengurangi produksi. Keempat, masyarakat cenderung menambah tabungan dengan menekan konsumsi, mungkin baru akan banyak belanja saat menghadapi lebaran. Karena permintaan menurun, maka penawaran juga menurun.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa sektor industri selama ini tidak tumbuh baik? Sektor industri memang pertumbuhannya lambat, selama 16 tahun terakhir rata-rata hanya tumbuh 4-5 persen per tahun. Hanya pada tahun 2000, pertumbuhannya sangat tinggi, yaitu 11,72%. Umumnya, sektor industri lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan sektor-sektor lain; seperti yang terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika sektor industri tumbuh belasan persen/tahun.

Menurut UNIDO (United Nations Industrial Development Organization), daya saing industri manufaktur Indonesia memang mengalami stagnasi dalam 20 tahun terakhir. Indonesia berada pada posisi ke 40-an dalam peringkat Competitive Industri Performance (CIP). Posisi ini relatif tidak berubah banyak, berbeda dengan Vietnam, misalnya, yang meningkat dari peringkat ke-91 menjadi peringkat ke-80 dalam kurun waktu yang sama.

Bisakah dikatakan sektor industri sedang stagnan? Apakah kebijakan pemerintah di sektor industri tidak berhasil? Lebih dalam lagi, apakah pemerintah salah membuat kebijakan sektor industri? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tentunya tidak bisa dijawab tanpa analisis yang cermat. Namun beberapa gejala ini dapat menunjukkan bahwa sektor industri kita perlu dikelola lebih baik lagi.

Pertama, belum ada rencana terpadu untuk membangun industri manufaktur secara terpadu, dari hulu hingga hilir. Kemenperin memang sudah menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, namun terlalu komprehensif, kurang fokus, dan kurang implementatif. Ini sebabnya konon Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang dibentuk Presiden Jokowi berencana akan menyusun road map pengembangan sektor industri yang lebih realistis.

Kedua, sektor industri tidak didukung oleh ketersediaan energi yang murah, seperti listrik, gas dan BBM. Cukup sering kita dengar sektor industri yang memerlukan tambahan pasokan gas untuk peningkatan produksinya namun tidak mendapat respon seperti yang diharapkan.

Ketiga, sektor industri nasional dibiarkan bersaing dengan sektor industri negara lain dalam mendapatkan bahan baku dari dalam negeri. Beberapa komoditas perkebunan dan kehutanan bebas diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri cukup besar. Akibatnya kebutuhan bahan baku dalam negeri justru harus diimpor. Betapa untungnya pengusaha industri negara lain, mendapatkan bahan baku dengan mudah dari negara kita, sementara hasil produksinya dijual dengan harga yang lebih tingggi kepada kita. Menjadi pertanyaan, benarkah negara kita kaya akan sumber daya alam, jika kita sendiri tidak bisa memanfaatkannya?

Keempat, lemahnya keterpaduan dalam regulasi, kebijakan, dan pelaksanaan di lapangan. Antara satu kementerian dengan kementerian lain tidak saling mendukung dengan sepenuh hati, bahkan saling menjegal bahasa kasarnya. Ada prinsip yang keliru tetapi mungkin dipegang teguh oleh setiap kementerian/lembaga: “Kalau saya mendukung kementerian lain maka kementerian itu yang mendapat pujian, sedangkan kementerian saya belum tentu kinerjanya dinilai baik. Maka lebih baik bekerja sendiri-sendiri saja. Kalaupun mendukung kementerian lain, itu tetap dalam rangka untuk kepentingan kementerian sendiri.” Kemudian, apakah Kementerian Koordinator kurang berperan? Mungkin masalah industri cukup kompleks sehingga peran koordinasi belum bisa dilaksanakan secara maksimal dan belum dapat segera membuahkan hasil.

Kelima, ada anggapan bahwa industri pengolahan adalah tanggung jawab Kementerian Perindustrian saja. Ini juga keliru, karena industri pengolahan berkaitan dengan bidang-bidang lain seperti pertanahan, tata ruang, lingkungan hidup, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, pertanian, kehutanan, dan masih banyak lagi yang lain.

Karena beberapa sebab di atas, maka sektor industri beberapa tahun terakhir ini kurang tumbuh dengan baik. Bisa dikatakan bahwa sektor-sektor industri fragmented (terpisah-pisah), masing-masing tidak berhubungan erat dengan yang lain secara terpadu. Dengan kata lain, tidak ada kaitan dari hulu sampai hilir. Akibatnya daya saing produk industri pengolahan lemah, baik di dalam maupun di luar negeri. Padahal Indonesia memerlukan dorongan pertumbuhan ekonomi yang baru untuk menggantikan ekspor komoditas yang belum kunjung membaik. Ekspor migas juga harganya masih rendah, sehingga tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan negara. Maka satu-satunya harapan adalah industri pengolahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline