Lihat ke Halaman Asli

"Meskipun Capek, Perasaan Saya Lebih Happy!", Cerita Para Istri dengan Pasangan yang Setara

Diperbarui: 6 Maret 2022   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesetaraan relasi antara suami dengan istri menentukan kebahagiaan pernikahan dan pengasuhan anak. (Sumber gambar: dreamtimes.com)

Relasi suami dan istri dalam sebuah perkawinan seharusnya setara. Sayangnya, di negeri kita  sering terjadi suami dianggap sebagai pihak yang lebih dominan. Dalam masyarakat patriarki, dominasi pria dianggap sebagai hal yang wajar. 

Tak heran jika sering ditemukan suami yang tidak memberikan kontribusi berarti dalam melakukan pekerjaan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan sebagainya. Bahkan dalam banyak rumah tangga tugas mengasuh anak pun nyaris sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri.

Minimnya peran suami dalam tugas-tugas domestik rumah tangga kadang memaksa istri lebih memilih untuk tinggal di rumah, melepaskan pekerjaan dan karier agar bisa lebih fokus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak yang memang membutuhkan banyak energi. Kalaupun istri memutuskan tetap bekerja, bebannya justru semakin berlipat karena masih harus berkutat dengan urusan domestik dan anak di rumah.

Devia, seorang mompreneur dan ibu satu balita, mengaku pernah ada dalam fase kode-kodean kepada suami agar mau ikut terlibat dalam urusan domestik. Namun kini masa tersebut telah berlalu. Saat ini untuk melakukan tugas rumah tangga, selalu ada pembagian kerja yang jelas seperti siapa melakukan apa.

"Kebanyakan istri itu ekspektasinya tinggi, sementara suami tidak peka. Karena kesal sendiri, akhirnya saya sampai pada titik ngomong langsung agar dia mengerjakan urusan rumah. Ternyata kalau diomongin, suami mau kok ngerjain. Pasutri itu satu tim seumur hidup, kalau komunikasinya hanya kode ya mau sampai kapan?" ujarnya.

Devia memperhatikan bahwa sikap cuek suaminya berasal dari pola didik di masa kecil yang keras, sehingga cenderung pasif dan kerap memendam perasaan. Devia pun berusaha mencoba cara berkomunikasi lain yang santai.

"Setiap hari saat pillow talk, kami selalu review seharian tadi ada kejadian apa. Kemudian saya bilang tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Saya ingatkan juga bahwa anak perempuan kami suatu hari nanti bakal cari sosok ideal untuk pasangan hidup dan role model-nya adalah ayahnya sendiri," ungkap Devia.

Setelah beberapa kali berdiskusi, suami Devia pun perlahan berubah dan mau turut kerjasama dalam pekerjaan rumah tangga dan pola didik anak, terutama untuk membiasakan kata "tolong", "terima kasih", dan "maaf". Suaminya juga kini tidak lagi memandang permintaan maaf adalah sesuatu yang mahal atau gengsi.

"Untuk ada di titik seperti sekarang itu tidak mudah. Semuanya berproses. Sekarang setelah relasi kami lebih baik dan lancar menuangkan pikiran, perasaan saya lebih happy.  Meskipun capek ngerjain tugas domestik rasanya tetap senang aja. Saat menghadapi anak pun lebih mindfull," sambungnya.

 Pentingnya Berbagi Peran

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline