Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Utang Papa

Diperbarui: 2 Februari 2021   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber:cakradunia.co

Apakah saya ditakdirkan hidup tanpa kebebasan? Hidup di dunia dengan banyak ikatan dan aturan yang membelenggu sangat melelahkan. Kali ini saja biarkan saya merasakan kemerdekaan.

Sudah berulang kali saya diam. Setiap Papa dan Mama mengajak bicara panjang saat makan malam di atas meja makan, saya memilih cepat-cepat membawa piring dan gelas ke dalam kamar.

Awalnya mereka bertanya basa-basi tentang bagaimana pekerjaan saya pagi tadi. Kemudian, perlahan beralih pada apa rencana saya ke depan nanti. Sampai akhirnya ditutup dengan menyebut satu nama.

Mau Senin, Selasa, sampai Minggu, itu-itu saja bahan pembicaraannya. Sebagai anak yang sedari kecil diajari hormat pada orangtua, saya memberikan waktu barang lima menit di awal, untuk melihat wajah mereka dan bertanya bagaimana kabar hari ini. Selebihnya, nasi dan lauk yang Mama masak saya habiskan dalam kamar.

Kuping saya sudah bosan. Bagaimana mereka memuji-muji Sarmaji, bercerita tentang kebaikan orangtuanya dan meramalkan dia juga baik seperti orangtuanya sungguh merusak nafsu makan saya. Padahal saya tahu benar, hingga detik ini, Papa belum pernah bertemu langsung dengannya.

"Sarmaji itu anak baik-baik. Kamu pasti tidak akan menyesal. Papa pun tahu, kamu anak baik. Kamu selalu membanggakan Papa. Ayolah, hanya kamu harapan Papa. Siapa lagi yang bisa membantu Papa?"

Sebetulnya saya sedikit bangga dengan ucapan Papa yang membesar-besarkan kepala saya itu. Seolah-olah, nasib Papa bergantung penuh di tangan saya. Tetapi, ya begitulah, bila ada maunya, tidak hanya Papa, orang-orang juga memuji-muji dengan wajah tulus yang dibuat-buat. Memuakkan.

Dulu, Papa memiliki seorang sahabat akrab. Mereka telah menjalin hubungan dari SD, SMP, SMA, dan waktu kuliah mereka berpisah. Sahabatnya memilih melanjutkan pendidikan dan bekerja di luar negeri. 

Ketika Papa sedang jatuh-jatuhnya, kehilangan pekerjaan karena masa krisis moneter, rumah dijual, tunggakan kredit kian menumpuk, sekadar untuk makan tiga kali sehari tidak mampu, bahkan sampai-sampai Papa sempat ingin bunuh diri, tiba-tiba sahabat itu menghubunginya. Dia berjanji akan memberi pekerjaan bersama bantuan dana untuk bertahan hidup beberapa bulan. Saat itu, Mama mengandung saya.

Seperti mendapat durian runtuh, Papa lekas menerima tawaran itu tanpa sedikit pun ragu. Dia tahu, sahabatnya tidak pernah bohong. Dan benar, sababatnya itu menepati janji. Berkat keuletan dan kerja keras serta patuh setianya pada sahabatnya itu, dua puluh tahun berlalu Papa bisa menjadi direktur di salah satu anak perusahaan sahabatnya itu di dalam negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline