Di zaman serba cepat seperti sekarang, hidup terasa seperti berlari maraton tanpa tahu kapan berhenti. Banyak anak muda terjebak dalam gaya hidup hustle, bekerja tanpa istirahat demi mengejar mimpi, target, dan pengakuan orang lain. Media sosial menambah tekanan dengan menampilkan cerita sukses orang lain, membuat kita merasa harus selalu aktif dan produktif agar tidak tertinggal. Pertanyaannya, apakah hidup hanya tentang bekerja keras tanpa jeda?
Budaya hustle begitu populer karena dianggap sebagai cara tercepat untuk sukses. Slogan seperti "kerja sekarang, nikmati nanti" atau "tidur untuk orang gagal" menjadi alasan untuk memeras tenaga, waktu, bahkan kesehatan demi hasil yang dicapai. Di kampus, banyak mahasiswa menjalani aktivitas dari pagi hingga larut malam: kuliah, organisasi, magang, hingga usaha kecil-kecilan. Di kantor, karyawan muda bangga lembur meski harus mengorbankan hari libur. Semua dilakukan dengan keyakinan bahwa semakin sibuk, semakin dekat mereka pada keberhasilan.
Namun, di balik semangat itu ada harga yang harus dibayar. Hustle yang berlebihan kerap kali berujung pada burnout, kelelahan fisik dan mental yang membuat seseorang kehilangan semangat hidup. Banyak yang merasa kosong meski sibuk, dan merasa gagal meski sudah bekerja keras. Fenomena ini menjadi cermin bahwa produktivitas yang tak terkendali justru bisa menjauhkan manusia dari kualitas hidup yang sehat.
Di titik ini, muncul kebutuhan untuk healing. Istilah ini semakin populer beberapa tahun terakhir, seolah menjadi jawaban bagi generasi yang kelelahan oleh ambisi. Healing bukan sekadar jalan-jalan ke Bali atau nongkrong di kafe estetik. Ia bisa sesederhana meluangkan waktu membaca buku, menulis jurnal, berolahraga, atau sekadar berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. Bagi sebagian orang, healing berarti kembali ke akar spiritual: sholat tepat waktu, berdoa dengan khusyuk, atau berbagi dengan sesama.
Namun, healing sendiri sering disalahartikan. Banyak orang menganggapnya tren konsumsi, sebuah gaya hidup yang justru bukannya menenangkan melainkan melelahkan. Banyak orang merasa wajib melakukan perjalanan ke tempat jauh, menghabiskan uang, atau mengunggah setiap momen healing ke media sosial agar dianggap "sehat secara mental". Alih-alih pulih, healing semacam ini malah menambah tekanan baru: tampil bahagia di mata orang lain, meski hati masih penuh beban. Pertanyaannya, apakah healing masih murni sebagai kebutuhan, atau sudah berubah menjadi komoditas?
Setelah hustle dan healing, siklus itu sering kali berulang. Kita kembali pada repeat, mengulangi ritme yang sama. Bangun pagi, bekerja keras, lelah, lalu healing, kemudian mengulanginya lagi. Bagi sebagian orang, ini terasa seperti lingkaran setan yang tak pernah berkahir. Tetapi, jika dilihat dari sisi lain, siklus ini bisa diartikan sebagai pola hidup manusia modern yang bisa diatur ulang agar lebih sehat.
Kuncinya adalah mengubah pola tersebut. Hustle tetap diperlukan, tetapi dengan kesadaran batas diri. Kita bisa menyebutnya sebagai conscious hustle, yaitu kerja keras yang tetap mempertimbangkan kesehatan fisik, mental, dan hubungan sosial. Healing pun tidak harus mahal. Justru lebih bermakna ketika sederhana, konsisten, dan sesuai kebutuhan diri. Sementara repeat bukan berarti terjebak pada rutinitas yang membosankan, melainkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas setiap siklus.
Bayangkan jika setiap orang bekerja keras dengan sadar, beristirahat dengan tulus, lalu mengulanginya dengan versi diri yang lebih baik. Siklus Hustle, Healing, Repeat tidak lagi melelahkan, melainkan menjadi proses bertumbuh. Kita tidak lagi bekerja hanya untuk memenuhi standar orang lain, tapi untuk memenuhi makna hidup sendiri. Kita tidak lagi healing demi validasi, tapi benar-benar untuk pulih. Dan kita tidak lagi mengulang rutinitas dengan terpaksa, tapi dengan kesadaran akan tujuan yang ingin dicapai.
Generasi ini memiliki tantangan yang berbeda dengan generasi sebelumnya, seperti tekanan digital, persaingan global, dan perubahan yang serba cepat. Namun, generasi ini juga punya kesadaran yang mendalam tentang kesehatan mental, keseimbangan hidup, dan arti kebahagiaan. Meskipun ada banyak keterbatasan, kita bisa mengubah siklus Hustle, Healing, Repeat dari lingkaran yang melelahkan menjadi siklus yang menjadikan kita berkembang.
Pada akhirnya, hidup bukan hanya soal bekerja keras atau beristirahat, melainkan tentang menemukan irama yang tepat bagi diri sendiri. Hustle memberi kita arah, healing memberi kita tenaga, dan repeat memberi kita kesempatan untuk mencoba lagi. Siklus ini tidak harus membuat kita hancur. Ia bisa menjadi cara hidup yang sehat jika dijalani dengan kesadaran. Mari belajar mengubah pola ini, bukan untuk menjadi sempurna, melainkan untuk menjadi manusia yang lebih utuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI