Lihat ke Halaman Asli

Himawijaya

Pegiat walungan.org

Memahami Avonturir

Diperbarui: 4 Desember 2017   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

rumahku entah di mana
tak kutemukan di sajak-sajak

di matahari, dan di bulan
karena tidurku
di bawah bintang-bintang
jauh di rimba belantara
tenggelam di dasar lautan
mesti pulang ke mana
setelah letih mengembara?

Heri H Harris dalam Balada si Roy

Avonturir. Sebuah kata sedalam makna. Ia tak sekadar bermakna pengelana. Ia juga sebentuk cara dan memandang hidup. Ia bermakna tak sekadar singgah di kota-kota tua, pelosok-pelosok gang dan ruang-ruang terbuka. Ia adalah menyerap "sari hidup". Menikmati dan merasuk di dalam keseharian orang-orang.

Pertengahan 90-an. Masa remaja sudah beranjak, masa dewasa sedang membentuk. Saya demikian akrab dengan kata ini: Avonturir. Tentu saja setiap masa dan usia punya patronnya. Patron rujukan bagi mereka yang sedang membangun makna dewasa. Bagi saya sendiri, yang terbiasa dengan bacaan-bacaan sastra, tak pelak lagi tokoh-tokoh sastra menjadi rujukan. Sebuah kawajaran dalam masa pencarian "kedirian".

Seorang kawan lama menyindir bahwa di masa SMA saya dianggap tak belajar tekun. Memang ada benarnya. Lagi-lagi dia berujar, saya hanya sekadar membawa satu buah buku tulis dimasukan ke saku belakang. Lagi-lagi ada benarnya. Itu pun buku tersebut hanya berisi kumpulan-kumpulan puisi yang saya salin dari Koran Mingguan, atau catatan-catatan harian yang lepas, biasanya berbentuk prosa liris. 

Saya lebih menikmati buku-buku sastra, esai-esai dan tulisan-tulisan sosial budaya . Lebih memilih mencermati "pelajaran" di luar bangku sekolah. Setiap rentang usia punya kekhasan dan gejolaknya sendiri. Di masa SMA, kegelisahan sedang singgah, aneka pertanyaan menghinggapi dan menghantui. Aneka tanya yang butuh jawaban. Butuh kepastian dan pegangan.

Adalah wajar juga gelegak masa muda di masa itu akan sangat mudah jatuh ke sisi eksistensialisme. Mungkin semacam Iwan Simatupang, atau Chairil Anwar. Atau bagi yang lebih kekinian, biasanya akan mematronkan diri ke kisah Balada Si Roy, karya Gola Gong. Maka gambaran Rangga dalam A2DC satu yang individualis cenderung sinis, adalah gambaran cukup tepat kegelisahan remaja 90-an.

Avonturir. Kata yang juga ditebarkan secara literasi oleh Gola Gong dalam Seri Balada Si Roy. Bandung, Yogya, Solo, Sukabumi, Serang adalah target para avonturir yang mengikuti jejaknya. Khusus Bandung, seruas jalanan Dago Pojok punya makna khusus dalam kisah Balada Si Roy. Miriplah dengan kisah sendiri.

Suasana pertengahan 90-an, tidaklah dikenal gadget dan google maps. Tidak ada kamera hape dan selfinya. Apalagi filosofi "aku selfi maka aku ada". Tak dikenal sama sekali. Maka modal bergaul dan merasuk jauh ke kehidupan orang-orang di sebuah kota adalah cara ampuh bertahan di jalanan, bagi para avonturir. Mengobrol dan bercakap, mengakrabi para tukang becak, para pedagang asongan dan kaki lima. Syukur-syukur bisa bercakap dalam bahasa daerahnya, adalah modal paling kuat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline