Lihat ke Halaman Asli

Hikmatiar Harahap

Univ. al-Azhar Medan

Siyasah: Membedah RKUHP Pasal 218 dan 219

Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siyasah: Membedah RKUHP Pasal 218 dan 219

Oleh: Hikmatiar Harahap

Pengantar

Penulis menyoroti terkait hadirnya dan disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia melalui pendekatan politik Islam, terutama terkait pasal kebebasan berpendapat yang menimbulkan perdebatan-perdebatan panjang serta menuai pro-kontra ditengah publik, hal ini dinilai berpotensi membatasi kebebasan berpendapat terutama terkait pasal penghinaan terhadap presiden dan penyebaran berita bohong.

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 218 dan 219 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP mengatur tentang pebuatan penghinaan atau menyerang kehormatan harkat martabat presiden atau wakil presiden.

Penulis hanya fokus pada pasal penghinaan dan penyebaran berita bohong yang diuraikan dan dianalisis berdasarkan politik Islam, dan pada akhirnya kesimpulan penulis terkait materi pasal penghinaan lebih diarahkan pada etika kritik kepada lembaga negara. Politik Islam menghendaki kepada kemaslahatan dan mencegah kemudharatan dalam membangun bangsa, respon dininya, pasal penghinaan presiden bukan sebagai langkah kritik melainkan argumentasi yang dibalut kemarahan, emosi dan kebencian.

Pada esensinya, kebebasan berpendapat merupakan bukti bahwa kehidupan manusia semakin berkembang serta maju, bahwa kebebasan berpendapat merupakan konsekuensi kebutuhan mendasar yang tak bisa diabaikan, karena dalamnya ada keinginan untuk disuarakan, disampaikan, agar didengarkan pemangku kepentingan.

Kebebasan berpendapat merupakan fitrah manusia yang sejak dulu sudah diperjuangkan dalam lintasan sejarah, mengutip dari buku Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid, seorang Sokrates pemikir Yunani berpendapat manusia adalah mahluk yang berakal sehat, memiliki pendapat, dan berbicara berdasarkan akal pikirannya. Ibnu Khaldum  berpendapat bahwa anugerah termulia yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah kemampuan berpikir. Lebih lanjutkan dijelaskan betapa memilukannya nasib manusia bilamana kebebasan dikerengkeng dan dibelenggu. Jadi, harus dapat dipahami ketika manusia menyatakan pendapat, pasti menghendaki kebaikan dan kemaslahatan untuk bersama. Bahkan seorang Alexis de Tocqueville dalam ungkapannya "siapa yang tidak mencintai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, maka ia terlahir sebagai budak".  Kebebasan merupakan nilai yang tak terhargai, demi untuk terwujudnya kebenaran maka tidak boleh terpengaruh melalui tekanan sosial, politik dan hukum, sehingga mencintai kebebasan merupakan bentuk penghargaan terhadap tegaknya prinsip kemaslahatan dan terhindar dari bentuk perbudakkan.

Jadi kebebasan berpendapat sudah semestinya diberikan ruang, tempat seluas-luasnya, dan negara berkewajiban menjamin untuk terciptanya kenyamanan, sebagai hak yang melekat pada setiap manusia. Negara yang menghargai kebebasan berpendapat, pastinya ruang-ruang pikiran ikut berperan menciptakan tata letak menuju kepastian hukum, kesejahteraan ekonomi, kemajuan pembangunan serta kecerdasan tetap terawat.

Untuk itu, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan bagian dari sistem pembaharuan hukum pidana di Indonesia, ketika berhadapan dan bersentuhan dengan kebebasan berpendapat semestinya harus mampu menjembatani nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi agar tidak melahirkan tafsiran-tafsiran liar, yang berpotensi melahirkan kekuatan politik untuk mengekang kebebasan. Terkait pembaharuan bidang hukum disampaikan H. Abdurrahman yang dikutip dari Prof. Teuku Mohammad Radhie, disebabkan antara lain: Pertama, alasan psikologis dan politis, berupa keinginan tata hukum produk nasional demi terciptanya identitas dan kekhasan tersendiri, sehingga warna hukum kolonial ditinggalkan. Kedua, hukum harus bersifat praktis, rasional yang merupakan kebutuhan masyarakat, sehingga mampu menjawab kebutuhan hukum yang berkembang saat ini dan kedepannya, walaupun sifat hukum tentu selalu berubah sesuai tantangan yang dihadapi. Ketiga, sebagai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa, dan Keempat, kehadiran hukum harus dapat disesuaikan dengan aspirasi dan suasana kehidupan berbangsa. 

Persoalan yang dihadapi bahwa Rancangan Kitab Undang-Undangan Hukum Pidana satu sisi merupakan kebutuhan yang mendesak baik dari segi psikologis, praktis, politik, budaya serta kebutuhan-kebutuhan bangsa. Mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku merupakan warisan dari kolonial Belanda, sehingga wajar kalau bangsa Indonesia menginginkan warna hukum tersendiri yang berlandaskan moral bangsa. Namun, sisi lain terutama dalam pasal-pasal yang dinilai menimbulkan kontroversi dan perdebatan seharusnya disesuiakan dengan aspirasi dan suasana kehidupan bangsa secara keseluruhan sehingga tercipta kepastian, keadilan hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline