Lihat ke Halaman Asli

Herdias Hayyal Falahi

Mahasiswa Program Studi Magister Sains Psikologi Universitas Brawijaya

Kasus Yai Mim-Sahara: Cermin Heuristic Warganet di Era Serba Viral

Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era viralitas, kecepatan bereaksi sering kali mengalahkan kedalaman berpikir. (Sumber: Freepik)

Akhir-akhir ini dunia maya dihebohkan dengan kasus viral perseteruan antara Yai Mim dan Sahara. Kasus ini bermula dari unggahan di akun TikTok @SaharaVibessss, tempat Sahara, pemilik usaha rental mobil asal Malang, kerap membagikan potongan video perseteruannya dengan Imam Muslimin—dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus tetangganya sendiri yang akrab disapa Yai Mim.

Dalam video-video tersebut, tampak ketegangan di antara keduanya, yang belakangan diketahui bukan sekadar masalah pribadi, melainkan sengketa tanah wakaf jalan yang digunakan Sahara sebagai lahan parkir mobil sewaannya. Unggahan itu dengan cepat viral karena menampilkan eskalasi konflik yang dramatis: mulai dari adu kata dan saling ejek, hingga aksi fisik seperti dorong-mendorong dan memukul. Bahkan, sempat beredar video Yai Mim yang berguling-guling di tanah, yang kemudian menjadi bahan olok-olok warganet di berbagai platform.

Persepsi publik pun segera terbentuk. Banyak yang menilai Yai Mim sebagai sosok yang aneh, provokatif, berpura-pura, dan terlalu dramatis. Di sisi lain, Sahara semakin melontarkan tuduhan-tuduhan baru yang semakin memancing kemarahan publik—mulai dari pelecehan seksual, pencemaran nama baik, perusakan mobil rental, pemblokiran jalan, hingga fitnah terhadap usahanya sendiri. Puncaknya, beredar video di mana Sahara menuding Yai Mim melakukan pelecehan terhadap sekelompok mahasiswa yang disebut-sebut hendak menggeruduk usahanya. Belakangan diketahui bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut sebenarnya datang ke rumah Yai Mim untuk urusan perkuliahan, bukan untuk menyerang.

Efek dari badai opini warganet membuat Yai Mim terpukul. Tak hanya reputasinya tercoreng, para mahasiswa pun mulai enggan mengikuti perkuliahannya. Di tengah tekanan sosial yang semakin berat, Yai Mim akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen UIN Malang, bahkan diusir dari lingkungan tempat tinggalnya oleh pihak RT dan RW. Merasa diperlakukan tidak adil, beliau menempuh jalur hukum dengan melaporkan Sahara ke Polresta Malang Kota atas dugaan persekusi. Langkah ini membuka babak baru: fakta-fakta awal mula konflik mulai terungkap, terutama setelah Yai Mim hadir dalam siniar Curhat Bang bersama Denny Sumargo. Sejak saat itu, arus opini publik berbalik drastis. Warganet yang sebelumnya mencemooh kini berbondong-bondong membela Yai Mim, sementara Sahara justru dianggap sebagai sosok yang manipulatif, problematik, dan penuh drama, bahkan sebagian komentar mulai menyerempet pada stereotip kesukuan yang memperkeruh situasi di ruang digital.

Bias Heuristik di Balik Viralitas Moral–Sosial

Ketika satu unggahan di media sosial dapat memicu badai opini nasional, kebenaran seringkali datang terlambat. Kasus perseteruan Yai Mim–Sahara memperlihatkan bagaimana, di tengah derasnya arus simpati dan kemarahan, posisi moral di ruang digital terbentuk dengan sangat cepat—menunjuk siapa korban dan siapa pelaku bahkan sebelum seluruh fakta benar-benar terbuka. Fenomena ini menegaskan betapa kuatnya bias heuristik bekerja dalam ruang digital masa kini, di mana kecepatan bereaksi seringkali mengalahkan kedalaman berpikir.

Dalam kerangka Heuristic–Systematic Model (HSM; Chaiken & Leggerhood, 2012) reaksi cepat semacam ini merepresentasikan heuristic processing, sebagai penilaian sosial yang dibentuk melalui shortcut kognitif seperti “yang muda pasti korban,” “yang tua pasti salah,” atau “mayoritas netizen pasti benar.” Dalam fase awal konflik, Sahara dengan cepat diposisikan publik sebagai “korban ideal”—seorang perempuan muda yang menghadapi figur laki-laki yang lebih tua, berpendidikan tinggi, dan berstatus sosial lebih tinggi sebagai dosen sekaligus tokoh agama (Lewis et al, 2021; van Wijk, 2013). Sebaliknya, Yai Mim dikonstruksikan sebagai pelaku simbolik dari kekerasan berbasis usia dan otoritas.

Citra semacam ini segera memicu asumsi moral instan: pihak yang terlihat lemah, emosional, dan teraniaya adalah pihak yang benar. Warganet pun tidak hanya menilai dari isi argumen Sahara, tetapi juga dari isyarat sosial dan emosional yang mudah ditangkap secara intuitif—ekspresi wajah, nada bicara, hingga pilihan kata yang menekankan penderitaan dan ketidakadilan. Akibatnya, narasi linimasa mengeras menjadi pola biner sederhana: siapa yang tertindas dan siapa yang menindas. 

Dalam konteks media sosial yang serba cepat dan emosional, kecenderungan ini sejalan dengan prinsip least effort, di mana individu berusaha mengambil keputusan moral seefisien mungkin dengan mengandalkan isyarat sederhana seperti jumlah likes, opini figur publik, atau narasi dominan yang sedang beredar (Sun & Xie, 2024). Mekanisme ini memungkinkan individu untuk segera mengambil posisi moral tanpa meninjau konteks yang kompleks, karena ia meminimalkan beban kognitif dan mempercepat pengambilan keputusan—meskipun keputusan yang dihasilkan sering kali tidak akurat (Chaiken & Leggerhood, 2012). Akibatnya, reaksi emosional seperti hujatan dan makian mudah diarahkan pada individu yang dianggap cocok sebagai “pelaku.”

Sekalipun tidak akurat, individu cenderung tetap yakin pada hasil pemrosesan heuristik mereka karena adanya prinsip kecukupan (sufficiency principle). Dalam teori HSM, prinsip ini menggambarkan kecenderungan individu untuk berhenti memproses informasi begitu mereka merasa cukup yakin dengan kesimpulan mereka (Chaiken & Leggerhood, 2012). Dalam kasus Sahara, keyakinan itu muncul bukan dari data faktual, tetapi dari konsensus sosial dan emosional. Kalimat seperti “semua orang berpihak pada Sahara” atau “kalau ceritanya menyentuh dan meyakinkan, pasti korban” menutup celah antara actual confidence (keyakinan terhadap fakta saat ini) dan desired confidence (keyakinan terhadap fakta yang diinginkan), sehingga warganet tidak lagi merasa perlu memeriksa ulang informasi secara sistematik (Sun & Xie, 2024; van Wijk, 2013).

Lebih jauh, dinamika ini juga diperkuat oleh motivasi defensif (defense motivation) dan motivasi impresi (impression motivation; Chaiken & Leggerhood, 2012). Sebagian warganet terdorong untuk mempertahankan posisi moral tertentu, misalnya membela korban atau menolak kekerasan simbolik—karena hal itu sesuai dengan identitas moral mereka di ruang publik (defense motivation). Sementara yang lain lebih didorong oleh kebutuhan impresi, yakni ingin terlihat empatik, pro-keadilan, atau sejalan dengan opini mayoritas (impression motivation). Kedua motivasi ini mendorong pemrosesan selektif, di mana individu hanya memperhatikan informasi yang memperkuat posisi moral yang telah mereka pilih sejak awal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline