Lihat ke Halaman Asli

Hennie Triana Oberst

TERVERIFIKASI

Penyuka traveling dan budaya

Sepatu Hitam Pinjaman

Diperbarui: 1 Januari 2020   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Lucas Pezeta/ pexels.com

Seragam masa SMP kami dulu adalah putih dan biru. Hanya ini seragam kami di Sekolah Negeri yang letaknya di dekat parit besar, yang sering disebut Parbus, singkatan dari parit busuk.

Memang parit ini bau dan banyak sampah. Di dekat parbus ini ada lapangan bola, di sebelahnya adalah Rumah Duka, tempat persemayaman jenazah etnis Tionghoa. Jika sedang ada sembahyang di sana, sering beberapa siswa yang iseng masuk ke sana ikut mengambil buah-buahan yang dijadikan sesaji. 

Sepanjang jalan di depan sekolah kami ditanami pohon Akasia sebagai pohon peneduh. Jika sedang berbunga akan terlihat indah dengan bunga kuningnya dan bertebaran menyelimuti tanah di sekitarnya. Di depan sekolah kami ada satu Vihara, tapi aku lupa namanya.

Dulu ada ekskul Pramuka, tentu saja dengan seragam Pramuka, tapi kegiatannya diadakan hari Minggu. Sedangkan aku dulu aktif bukan di Pramuka sekolah, aku sudah bergabung di Gudep (Gugus Depan) yang sudah aku ikuti sejak Sekolah Dasar.

Baju seragam putih biru, dan sepatu warna hitam dengan kaos kaki putih. Sepatunya harus warna hitam, tidak perduli mereknya apa. Tapi peraturan dibuat untuk dilanggar (kata orang), anak sekolah yang harus berseragam setiap hari, tetap saja sekali-kali ingin tampil beda.

Wakil kepala sekolah kami dulu rajin sekali datang sepagi mungkin. Beliau akan berdiri di depan pintu gerbang memasuki gedung sekolah. Ada satu pintu gerbang lain di tembok yang mengelilingi sekolah, sebagai pembatas halaman sekolah dan jalan. 

Peraturan yang berlaku di sini lumayan ketat, mereka tak segan menghukum siapapun yang melanggar. Jika ketahuan memakai sepatu warna selain hitam, jika masih ada cukup waktu, lebih baik pulang dan berganti sepatu sesuai peraturan. Tetapi kalau rumah jauh dari sekolah, maka harus patuh menjalankan hukuman, nyeker (tanpa alas kaki) seharian di sekolah.

Sekali waktu, teman sekelasku panik karena pak wakepsek seperti biasa berjaga di depan gerbang. Sedangkan rumah dia jauh, sepertinya tidak mungkin pulang berganti sepatu.

Akhirnya dia pergi ke toko alat tulis yang berada di depan sekolah, kalau tidak salah letaknya bersebelahan dengan Vihara. Toko ini hampir selalu dipenuhi siswa siswi dari sekolah kami dan juga SMA yang letaknya berdampingan dengan SMP kami. 

Temanku ini bisa mengikuti pelajaran seperti biasa, ia telah mengganti sepatunya dengan warna hitam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline