Lihat ke Halaman Asli

Melihat Siswa "Gen Z"

Diperbarui: 15 Desember 2023   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.efrontlearning.com/blog/2022/12/gen-z-in-the-workplace.html

Sebuah opini pribadi

Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2012. Berarti dari 27 tahun pengalaman mengajar, sudah 13 tahun berkecimpung bersama mereka. Ya, usia siswa SMP dan SMA antara 12 sampai 18 tahun. Hampir separuh usia pengalaman mengajar. Wow.

Apakah ada perbedaan mencolok antara mengajar generasi milenial dengan generasi Z ini? Tentu tidak bisa dijawab langsung dengan sekedar ya atau tidak. Harus diamati dari berbagai segi dan situasi.

Menurut pengamatan saya, setiap tahun akan ada perbedaan dan perubahan, yang berawal sedikit demi sedikit lalu setelah lewat beberapa tahun kita kan merasa wah berubah ya, kok dulu anak-anak tidak begini begitu mengapa sekarang jadi begini begitu? Nah seringkali kan rekan-rekan guru yang sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun merasakannya? Dan perubahan itu bukan hanya perpindahan generasi bahkan di antara rentang waktu gen Z pun kita bisa merasakan perbedaan.

Perubahan karakteristik siswa bisa diakibatkan faktor lingkungan. Di tahun-tahun pasca 1998, era siswa milenial, mulai menjamur sekolah berkiblat internasional. Namun di era itu bahkan buku-buku pelajaran masih menggunakan buku-buku pelajaran terbitan dalam negeri. Menyampaikan pelajaran masih bebas berbahasa Indonesia. Namun uang sekolah beberapa kali lipat dari sekolah normal, sekolah nasional. Kok bisa ya? Iya bisa, karena logikanya walaupun menggunakan buku pelajaran yang sama namun fasilitas dan sistem pembelajaran ada perbedaan termasuk uang sekolah, semisal satu kelas hanya berjumlah antara 10 - 20 siswa maksimal, ada kegiatan extra kurikuler yang beragam oleh profesional, komunikasi di kelas campur bahasa asing (Inggris).

Penggunaan bahasa asing ini dimulai dengan dibiasakan untuk komunikasi saja dan bukan yang utama (setidaknya saya mengalami hal ini). Banyak siswa yang datang ke sekolah dengan kemampuan bahasa Inggris yang minim dan mereka justru belajar dimulai dari komunikasi ringan, dibangun kepercayaan dirinya berbahasa asing, belajar di kelas bahasa Inggris dengan "native speaker".

Beberapa tahun berlalu, mulai gen Z, kemampuan bahasa Inggris sudah dimulai dari anak-anak berusia lebih muda lagi alias mulai dari taman kanak-kanak ataupun sekolah dasar, sehingga begitu memasuki usia SMP mereka lebih fasih dari awal-awal yang disebut di atas. Kemampuan berbahasa yang lebih fasih tentu otomatis membuat guru-guru yang kebanyakan saat itu berlatar generasi boomers akhir dan gen X sedikit kewalahan dan mau tidak mau dipaksa belajar memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih baik. Gap yang semakin besar tersebut sudah pasti membawa kesimpulan adanya perubahan siswa. Setelah guru-guru makin bertambah dari generasi milenial, tentu berubah pula kondisinya.

Hal itu pulalah yang menyebabkan semakin maraknya sekolah yang menawarkan kurikulum asing dan penyampaian dalam bahasa asing (Inggris) pula, yang lambat laun menawarkan bahasa asing lain (contohnya Mandarin).

Bahkan sekolah nasional pun semakin banyak menawarkan persaingan ini, nasional plus. Demi apa? Demi tidak tertinggal, demi mengikuti perkembangan jaman. Jika semakin banyak lingkungan anak-anak dari sekolah yang mampu menawarkan gaya international tadi maka semakin beragam perilaku siswa di kelas. Siswa merasa kemampuan guru tidak sebanding, mulai berkomentar dengan menyisipi kata-kata yang dianggap kurang sopan, berasumsi gurunya tidak akan paham. Sebaliknya si guru jadi penuh rasa curiga akan setiap komentar siswanya. Jadilah "misunderstanding" dan mulai terjadi sebuah perbandingan "wah siswa sekarang kurang sopan".

Perubahan lain disebabkan oleh perubahan pola asuh dalam keluarga. Orang tua para gen Z mayoritas rasanya berasal dari para gen X. Di mana gen X ini berasal dari orang tua generasi silent akhir atau boomers. Pola asuh boomers kepada gen X mengakibatkan gen X merasa tidak boleh mengulang pola asuh yang sama kepada anak-anaknya. Dulu dikontrol, tidak boleh bergaul apalagi pacaran, padahal tidak semua pergaulan maupun pacaran anak remaja adalah salah. Sehingga gen X merasa harus memberi peluang anak-anaknya si gen Z lebih bebas bergaul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline