Oleh: Harmoko
"PDKT itu seperti baca buku tanpa sinopsis. Menarik di awal, bikin penasaran, tapi kadang akhirnya cuma plot twist: dia cuma anggap kamu teman." - kutipan anonim yang relatable banget!
Pendahuluan: PDKT, Ritual Lama dengan Teka-Teki Baru
Zaman berubah. Tapi satu hal tetap sama: PDKT alias pendekatan, tetap bikin deg-degan. Dulu mungkin kita nungguin balasan surat cinta di balik buku PR Matematika. Sekarang? Menunggu centang biru berubah jadi dua, lalu jadi biru, lalu... di-read doang.
PDKT---entah itu di usia belasan, dua puluhan, atau bahkan kepala tiga ke atas---tetap punya keseruan dan tantangannya sendiri. Kadang bikin kita berbunga-bunga, kadang bikin pengen uninstall semua aplikasi chat lalu daftar jadi biksu.
Namun dari sekian banyak cerita PDKT yang viral, yang kita baca atau alami sendiri, satu pertanyaan menggantung di kepala: Kenapa banyak PDKT yang gagal di tengah jalan? Dan kalau boleh jujur, bagaimana sih rasanya PDKT yang waras, yang bikin kita tetap bisa senyum meski ujungnya bukan jadian?
Ketika Harapan dan Kenyataan Tidak Sepakat
Sering kali PDKT gagal bukan karena kita kurang cakep, kurang pintar, atau kurang modal. Tapi karena ekspektasi dan kenyataan tidak sempat tanda tangan kontrak.
Salah satu jebakan paling umum adalah baper dan geer.
Kita jadi rajin antar jemput, temani curhat tiap malam, bahkan bantuin dia ngurusin skripsi. Tapi ternyata, menurut dia, kita hanya "teman paling baik."
Lalu kita duduk termenung, memandangi chat terakhir yang berisi: