Lihat ke Halaman Asli

Hanzizar

Pengamatiran

Charlie Kirk dan Cermin Brutalisme di Era Modern

Diperbarui: 13 September 2025   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivis konservatif, Charlie Kirk, berbicara sebelum ditembak selama kunjungan Turning Point ke Utah Valley University di Orem, Utah, Amerika Serikat, Rabu (10/9/2025). (Sumber: Tess Crowley/The Deseret News via AP diambil dari KOMPAS TV)

Charlie Kirk bukan hanya aktivis konservatif. Ia seorang ayah, seorang suami, seorang anak. Kematian tragisnya karena penembakan di Utah bukan sekadar peristiwa politik, melainkan luka kemanusiaan yang harus dikutuk lantang. Perbedaan ideologi, betapa pun kerasnya, tidak pernah bisa menjadi alasan untuk menghapus nyawa seseorang.

Kita boleh menolak pandangannya soal aborsi, LGBT, atau dukungannya terhadap Israel. Namun peluru yang bersarang di lehernya dan mematikannya, tidak menyelesaikan apa pun, malah menghancurkan fondasi peradaban yang beradab. 

Seperti dikatakan C.S. Lewis, keadilan yang sejati tidak pernah lahir dari kebencian, tetapi dari pengakuan bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar Allah. Membunuh lawan ideologi justru mengkhianati gambar itu.

Charlie Kirk sering dicap keras kepala, bahkan ekstrem. Tetapi konservatisme yang ia pegang bukanlah nostalgia buta. Konservatif berarti berakar pada nilai yang kokoh, yang diuji oleh waktu. Augustine menulis bahwa hati manusia akan gelisah sampai beristirahat dalam Allah. 

Nilai konservatif mencoba merawat kegelisahan itu dengan menegaskan prinsip yang tak tergantikan: kehidupan adalah kudus, keluarga adalah rancangan Allah, iman adalah dasar moralitas. Hanya saja, butuh moderasi beragama yang dipahami dengan komprehensif.

Bagi Kirk, menolak aborsi bukan sikap politik belaka. Itu buah iman bahwa hidup adalah anugerah Allah sejak rahim. Menolak normalisasi LGBT bukan sekadar pertarungan budaya, melainkan kesetiaan pada rancangan ilahi tentang keluarga. Ia lantang berbicara tentang penebusan Kristus dan mandat penginjilan, karena baginya iman Kristen bukan opini pribadi, melainkan kebenaran yang harus diberitakan.

Pandangan ini tentu berbenturan dengan dunia sekuler yang menuntut kebebasan tanpa batas. Tetapi keberanian seperti inilah yang membuktikan bahwa kebenaran tidak ditentukan mayoritas, melainkan kesetiaan pada firman. Dietrich Bonhoeffer mengingatkan, "Kebenaran tidak tergantung dari konsensus, melainkan dari kesetiaan kita kepada Kristus, sekalipun dunia menolaknya."

Ironisnya, banyak yang bersorak atas kematian Kirk. Mereka yang mengaku menjunjung demokrasi justru merasa puas ketika lawan ideologi dibungkam dengan peluru. Itu bukan demokrasi. Itu barbarisme yang menyaru dengan wajah progresif.

Apologetika Kristen mengajarkan bahwa argumen dilawan dengan argumen, bukan dengan kekerasan. Free speech adalah ruang menguji gagasan, bukan membungkam lawan dengan darah. Jika kita membenarkan pembunuhan atas dasar ideologi, kita sedang merobohkan pilar demokrasi dan pada akhirnya menyiapkan dunia tanpa moral.

Sejarah membuktikan, darah tidak pernah bisa membayar darah. Lingkaran kekerasan hanya melahirkan lebih banyak luka. Kristus sendiri, ketika disalibkan, tidak membalas dengan pedang, tetapi menyerahkan diri-Nya demi kehidupan dunia. Inilah logika salib yang harusnya menjadi koreksi bagi dunia: bahwa kekerasan tidak pernah menjadi jawaban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline