Lihat ke Halaman Asli

Halim Pratama

manusia biasa yang saling mengingatkan

Hentikan, Narasi Provokasi Hanya Berujung Anarki

Diperbarui: 11 Oktober 2020   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia Damai, jalandamai.org

 Kebebasan berekspresi di era demokrasi ini, memang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpendapat dan berekspesi di ruang publik. Sebuah kondisi yang mungkin sulit terjadi di era represesi dulu. 

Paska reformasi, negara memang menjamin kebebasan tersebut. Namun bukan berarti bebas harus sebebas-bebasnya. Semuanya harus tetap dilandaskan pada etika sopan santun, tetap harus dilandaskan pada aturan hukum yang ada.

Sebelum ada UU ITE, cacian makian bisa semaunya dimunculkan di media sosial. Akibatnya masyarakat yang terpancing emosinya, berujung pada tindakan anarki. Merusak, membakar, memukul dan segala macamnya. 

Ketika UU ITE disahkan, apakah narasi provokasi dan kebencian berhenti? Nyatanya tidak. Kelompok radikal masih terus menebarkan provokasi dan narasi kebencian dengan mengatasnamakan agama. 

Kelompok oposisi terus menyebarkan provokasi dan kebencian atas segala kebijakan pemerintah. Di level bawah, masyarakat yang tidak membekali dirinya dengan literasi, tanpa disadari menjadi korban tapi ikut menyebarkan provokasi, melalui sharing tanpa saring terlebih dulu.

Ironisnya, kejadian menebarkan provokasi dan kebencian ini seakan menjadi kebiasaan yang sulit hilang. Dalam kondisi apapun provokasi masih tetap saja ada. Masih ingat ketika terjadi banjir, gempa atau bencana alam? Provokasi masih tetap ada. 

Ketika tahun politik, provokasi semakin masif. Di awal pandemi hingga saat ini, provokasi dan hoaks masih terus dimunculkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. 

Diluar itu semua, ada pihak-pihak yang juga masih memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, dengan tetap menebarkan bibit radikalisme dan intoleransi di media sosial.

Kemarin, ketika aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, berujung pada perusakan dan pembakaran fasilitas umum. Pemerintah mengklaim itu karena adanya disinformasi di publik. 

Sementara pihak demonstran merasa bukan mereka yang melakukan. Muncullah statement ada pihak-pihak yang memanfaatkan dan mendanai. Selalu berulang, berulang, dan berulang terus. 

Aksi 212 yang berujung rusuh di depan kantor Bawaslu beberapa tahun lalu, jika seperti ini. Akhirnya semua saling lempar pernyataan dan tanggung jawab. Dan kita, sebagai masyarakat bisa apa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline