Lihat ke Halaman Asli

Hafizh Pandyasakhi Javier

Mahasiswa Jurusan Teknik Elektromedik

Merawat Mesin, Menjaga Nyawa: Filosofi Profesi Elektromedis

Diperbarui: 22 Mei 2025   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam kehidupan modern, kita sering mendengar istilah "profesi", "profesional", dan "profesionalisme", tetapi tidak semua orang memahami perbedaan serta makna mendalam di balik kata-kata tersebut. Dalam dunia kerja yang semakin kompleks, mengenali arti dan tanggung jawab di balik sebuah profesi menjadi penting, bukan sekadar gelar atau status sosial.

Profesi bukanlah sekadar pekerjaan biasa. Ia merupakan suatu bidang pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dan melalui proses pendidikan atau pelatihan tertentu. Profesi hadir karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap layanan yang berkualitas dan bertanggung jawab. Menjadi seorang dokter, perawat, bidan, ahli gizi, hingga tenaga elektromedis, bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga tanggung jawab sosial yang melekat. Profesi dibentuk bukan untuk kepentingan pribadi semata, melainkan untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat luas.

Di balik profesi, berdirilah sosok yang disebut profesional. Mereka adalah individu yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan standar tinggi, kompetensi yang mumpuni, dan integritas yang tak tergoyahkan. Menjadi profesional bukan sekadar pintar atau ahli, melainkan juga menunjukkan dedikasi dalam menjaga etika, menjunjung tinggi kejujuran, dan terus belajar agar relevan dengan perkembangan zaman. Seorang profesional akan selalu berusaha memberikan yang terbaik, bahkan ketika tak ada yang mengawasi.

Salah satu contoh nyata dari profesionalisme dapat dilihat dalam lingkungan tenaga kesehatan, khususnya di bidang tenaga elektromedis, yang memiliki tanggung jawab besar dalam pengelolaan dan pemeliharaan alat-alat kesehatan. Sebuah kasus yang terjadi di salah satu rumah sakit di Indonesia menunjukkan bagaimana profesionalisme ini diuji. Seorang tenaga elektromedis berhasil mencegah potensi malapetaka ketika ia menemukan adanya kerusakan sensor pada alat defibrilator yang digunakan di instalasi gawat darurat. Alih-alih mengabaikan atau menunda perbaikan, ia segera melakukan pelaporan dan tindakan perbaikan darurat. Tindakannya, yang tampak sederhana, pada kenyataannya menyelamatkan nyawa karena alat tersebut dibutuhkan hanya beberapa jam kemudian untuk menangani pasien henti jantung. Ini adalah wujud nyata bagaimana profesionalisme tidak hanya soal keahlian, tetapi soal tanggung jawab dan kepedulian terhadap keselamatan pasien.

Namun, menjadi profesional tidak cukup hanya dengan kemampuan dan sikap. Diperlukan suatu semangat yang lebih dalam, yakni profesionalisme. Inilah nilai-nilai, prinsip, dan perilaku yang mencerminkan komitmen terhadap mutu, integritas, serta tanggung jawab sosial. Profesionalisme bukanlah sesuatu yang instan, melainkan dibangun dari kebiasaan untuk bersikap disiplin, menghormati waktu, menjaga kualitas kerja, serta mengutamakan kepentingan klien atau masyarakat di atas kepentingan pribadi.

Dalam konteks ini, muncul pula dua konsep penting yang sering disalahpahami sebagai hal yang sama, yaitu etika profesi dan kode etik profesi. Keduanya memang berakar dari nilai moral, namun memiliki perbedaan mendasar. Etika profesi lebih bersifat filosofis dan internal, berupa prinsip-prinsip moral yang menjadi pedoman batin bagi para profesional dalam bertindak. Ia hidup dalam kesadaran, tumbuh dari integritas, dan dijalankan berdasarkan hati nurani.

Sementara itu, kode etik profesi adalah aturan tertulis yang disusun oleh organisasi profesi sebagai panduan perilaku anggotanya. Ia lebih bersifat formal, sistematis, dan memiliki mekanisme sanksi apabila dilanggar. Kode etik ini dibuat untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan setiap anggota profesi bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang telah disepakati bersama. Dalam dunia tenaga elektromedis, kode etik ini meliputi prinsip seperti menjaga kerahasiaan data kalibrasi alat, tidak memanipulasi laporan kelayakan alat kesehatan, dan selalu memastikan bahwa setiap perangkat yang digunakan sesuai dengan standar keselamatan. Pelanggaran terhadap hal-hal ini tidak hanya merugikan institusi, tetapi juga dapat membahayakan nyawa pasien.

Salah satu kasus pelanggaran kode etik terjadi ketika seorang teknisi elektromedis mengesahkan alat EKG sebagai layak pakai, padahal hasil pengujian menunjukkan adanya gangguan pada tampilan sinyal. Tindakannya tersebut baru diketahui ketika pasien mengalami kesalahan diagnosis akibat hasil rekaman jantung yang tidak akurat. Selain merugikan pasien, tindakan tersebut juga mencoreng reputasi rumah sakit dan memicu investigasi internal yang berujung pada pemberian sanksi kepada tenaga tersebut. Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa pelanggaran terhadap kode etik bukanlah hal sepele --- dampaknya bisa sangat luas dan serius.

Dengan memahami perbedaan antara profesi, profesional, profesionalisme, serta makna dari etika dan kode etik profesi, kita menyadari bahwa menjadi bagian dari sebuah profesi bukanlah perkara ringan. Ia menuntut tanggung jawab, dedikasi, dan komitmen tinggi terhadap kualitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Jas profesi yang dikenakan bukan hanya lambang status, tetapi juga cerminan dari integritas dan pengabdian. Maka, di balik setiap profesi, terdapat panggilan moral untuk menjadi manusia yang bermanfaat, bertanggung jawab, dan pantas dipercaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline