Lihat ke Halaman Asli

H. H. Sunliensyar

TERVERIFIKASI

Kerani Amatiran

Sultan Ahmad Nazaruddin, Raja Tanpa Kasut

Diperbarui: 19 April 2020   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto 1. Sultan Ahmad Nazaruddin dari Jambi. Sumber. Tropenmuseum

Banyak yang tak menduga bahwa sosok sepuh dalam potret ini adalah seorang raja (foto 1). Pasalnya, ia tak menggunakan kasut dan atribut mewah lainnya layaknya raja-raja besar di seantero Nusantara. Apatah lagi, punya keraton dan istana yang dikelilingi benteng kokoh atau mahkota berlapis emas bertatah intan mestika.

Ahmad Nazaruddin diangkat pada pertengahan abad ke-19 sebagai Sultan Jambi menggantikan Sultan Thaha yang dimakzulkan Belanda. Potret dirinya ini menjadi gambaran bagaimana kondisi Raja - orang nomer satu di Jambi-- dan para bangsawan Jambi kala itu. Laporan Belanda, banyak menyebutkan bahwa raja dan pangeran Jambi hidup dalam kondisi "miskin". Mereka hidup dengan kondisi ekonomi minimal dari upeti di wilayah pegangan masing-masing.

Keraton yang mereka punya hanya rumah panggung. Ukurannya, sedikit lebih besar dari rumah rakyat biasa. Salah satu keraton itu berada di Dusun Tengah, Tembesi. Potretnya terdapat dalam buku Veth (foto 2).

Foto 2. Kediaman Sultan di Dusun Tengah, Muara Tembesi. Sumber: tropenmuseum

Keraton Raja jauh kalah mewah dibandingkan dengan rumah gedongan milik anak menantu mereka, Pangeran Wira Kesuma alias Sayyid Idrus Aljufri (foto 3). Saudagar Arab yang memiliki hubungan harmonis dengan  Belanda. Gelar pangeran ia dapatkan setelah menikahi putri raja. Pangkatnya naik secara drastis melebihi para pengeran lain. Mulanya hanya pangeran biasa, kemudian menjadi Pepatih Dalam (penasehat raja) hingga menjadi Mangkubumi (perdana mentri).

Foto 3. Rumah mewah milik Pangeran Wira Kesuma atau Sayyid Idrus Aljufri, di Olak Kemang. Sumber: tropenmuseum

Jambi sebenarnya tidaklah semiskin itu. Luas wilayahnya sekitar 50000 km persegi, satu setengah kali lebih luas dari negeri Belanda atau sepuluh kali lebih luas dari Kerajaan Brunei. Mereka menguasai hampir seluruh tol sungai Batanghari. Hasil upeti itu saja, sudah dapat memakmurkan raja. Namun kenyataannya, untung itu tidak mengalir ke kantong sultan semata. Sang raja harus berbagi dengan saudara dan sepupunya yang lain serta dengan para Batin dan Dipati. Terkadang pula, para Dipati dan Batin ini lebih kaya dari Raja.

Foto 4. Kondisi Sungai Batanghari, tampak sebuah kapal sedang melintasi tol sungai ini. Dok. Tropenmuseum

Jangan bayangkan raja-raja di Jambi atau para Dipati di Kerinci, kekuasaannya sama seperti raja-raja di luar sana. Jikalau di luar sana, seorang raja menguasai rakyat, tanah sekaligus monopoli perekonomian, maka Jambi tidaklah demikian. Para raja yang menguasai lahan, belum tentu dapat menguasai rakyat. Suatu contoh di abad ke 17, Raja Jambi tidak punya kuasa mengontrol rakyat Minangkabau yang ada di wilayah mereka.

Di Kerinci, para Depati Penghulu pun berbagi kuasa, ada yang hanya berkuasa atas lahan, ada yang hanya berkuasa atas rakyat dan ada yang berkuasa atas kegiatan perekonomian. Tak ada yang menguasai semua sektor. Akan tetapi, patut diacungi jempol, negara dengan sistem semacam ini bisa bertahan kurang lebih tiga abad. Kalau sistem pemerintahan yang sekarang jangan ditanya lagi, rakusnya keterlaluan!


Kira-kira kepala negara mana yang sebanding dengan kesederhanaan Sultan Ahmad Nazaruddin saat ini?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline