Kompasiana - Pukul 5 pagi WITA di perairan Bali, saya dan kedua anak saya menaiki tangga terakhir untuk berada di dek Kapal Dharma Rucitra VIII. Sudah banyak orang berada di sana, dari latar belakang berbeda. Ada sekelompok suster, ada dua sejoli, ada beberapa sopir ekspedisi, ada nenek-nenek gaul dengan kamera siap di tangan. Kami semua ingin menikmati panorama yang sama, arunika.
Ini bukan hanya momentum magis di atas kapal, ini adalah sebuah refleksi dari kehidupan di Indonesia.
Tanpa perlu diperintah, tanpa perlu dikode, puluhan orang yang ada di dek kapal dengan jalur lari melingkar ini tahu benar apa yang akan kami nikmati.
Arunika atau matahari terbit akhirnya mulai jelas sekitar pukul 5.50 WITA.
Keheningan tercipta, kami semua hanya melakukan dua hal: mengabadikan foto atau memandang dengan lekat ke ufuk timur. Sebuah momen kesakralan akan indahnya karya Sang Pencipta, kami nikmati bersama dalam diam.
Lalu apa relevansinya dengan Indonesia?
Coba bayangkan jika momen menikmati arunika itu dijejali suara berisik manusia yang menjelaskan ke kita apa itu arunika, apa saja warna yang terkandung dalam warna sang matahari, atau bahkan menjelaskan kapan lagi arunika akan ada kembali.
Semuanya tidak perlu. Kebisingan itulah yang kini kerap terjadi di negara Indonesia.
Secara manusiawi kita sudah tahu hal mendasar baik dan buruk, mana yang bersih dan kotor.
Tidak perlu dijelaskan apa itu manfaat makanan bergizi gratis, atau bahkan membodoh-bodohkan orang yang gemar nge-gym. Mereka terlalu berisik dan hanya perlu diam.