Lihat ke Halaman Asli

Mengakhiri Dilema Bangsa

Diperbarui: 10 Mei 2019   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengakhiri Dilema Bangsa

Oleh G. Purwo Nugroho[1]

 Secara formal Indonesia memiliki Dasar Negara Pancasila dan UUD yang disepakati pada sidang BPUPKI 18 Agustus 1945, satu hari setelah proklamasi. Pancasila  ditetapkan sebagai dasar negara secara tersendiri yang kemudian secara eksplisit di tuliskan dalam pembukaan  undang-undang dasar 1945. 

Jika melihat sila-sila ada sebenarnya adalah bentuk keumuman negara bangsa yang multikultural, plural dan disusun dari berbagai macam ideologi, menyangkut pengakuan akan Tuhan, hak asasi manusia, nasionalisme satu bangsa, demokrasi dan keadilan ekonomi, sebuah ramuan Indonesia yang dalam prateknya juga banyak yang masih pincang dalam pelaksaanaan sila sila tersebut. Konsep falsafah negara yang akomodatif seperti ini pasti akan kesulitan menemukan skala prioritas pemenuhan konsep dasar, karena mestinya semua dilakukan tetapi kemampuan negara yang belum terpenuhi.

Indonesia sudah beranjak menjadi negara modern, dan rezim tekno-demokrasi juga mulai mampir, fungsi-fungsi pelayanan negara sebagian sudah digantikan dengan teknologi, aparatur negara hanya memastikan semua berjalan dengan baik dan memperbaiki sistem yang tidak bisa melayani lagi. Sehingga secara umum  kebutuhan masyrakat sipil lebih berkutat pada kebutuhan dasar kehidupan manusia, dari pada mempersoalkan model politik apa yang mengatur diri mereka.

Konflik --konflik politik dan golongan, termasuk golongan agama mestinya dapat terklarifikasi kepentingannya dalam proses demokratisasi, bahwa muncul kelompok agama, nasionalis bahkan komunis pun dipersilahkan untuk disajikan menjadi menu ekonomi politik kepada rakyat dalam alam yang demokratis. 

Untuk itu menjadi penting untuk memperkuat basis demokratisasi politik dan ekonomi Indonesia, tidak ada satu hak pun dapat dilarang sepanjang diperjuangkan secara damai. Memang demokratisasi masih juga mengundang sikap skeptic dibeberapa kalangan, beberapa kelompok islam secara lebih ekstrim menolak demokrasi karena dianggap produk barat dan liberal, penolakan ini juga semacam paradox juga karena mereka dapat memiliki paham yang ekstrim karena manfaat demokrasi, tetapi kemudian menolaknya atas nama pahamnya. 

Sementara itu menolak demokratisasi pada masa ini adalah bisa dikatakan merindukan otoritarianisme atau fasisme, yang dengan sikap sepihak  merebut kekuasaan dengan cara tidak demokratis  melalui perang dan sejenisnya, perebutan kekuatan dengan tidak demokratis akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan, dan memberi ruang bagi militer kembali berkuasa atas nama kestabilan  karena yang mempunyai alat perang adalah militer, demokrasi yang rusak bisa memungkinan hal itu terjadi.  Dalam negara yang demokratis militer adalah penjamin perlindungan hak-hak semua orang dapat terlayani dan melindungi gangguan dari pihak luar.

Gagasan memperkuat demokrasi di Indonesia bukan pula barang yang sederhana, karena walau sejak reformasi melaksanakan 4 (empat) kali pemilu yang bisa dikatakan sangat demokratis dari sisi proses, tetapi secara substansial masih ada beban yang mestinya dituntaskan. Indonesia  memiliki beberapa beban demokrasi yang harus di tuntaskan, yakni demokrasi memperbolehkan semua paham untuk terlibat dalam perebutan wacana public, baik golongan agama, nasionalis bahkan komunis, tentunya dengan cara-cara demokratis yang disepakati melalui pemilu, menjadi problem bahwa isme-isme yang ada mempunyai resep sendiri diluar proses demokratis dalam perebutan kekuasaan.  

Kita di Indonesia mengalami kegamangan dalam hubungan agama dan negara, tetapi ketika gagasan islam dibawa dalam proses demokrasi tidak juga secara suara mampu memperoleh kursi yang layak , bahkan cenderung stagnan tetapi apabila dilakukan dengan cara diluar proses demokrasi maka yang terjadi adalah chaos, dan militer menjadi obatnya. Indonesia juga punya masalah jika diperhadapkan dengan gagasan komunis, yang sudah dilarang ketika orde baru muncul hingga sekarang, pelarangan paham itu dalam konsep demokrasi adalah pelanggaran hak asasi manusia, boleh memperjuangkan paham apapun tapi dengan cara demokratis.  

Jadi memang secara substansial demokrasi di Indonesia memang mengandung masalah-masalah.  Jika gagasan demokratisasi didorong lebih maju, maka resikonya adalah pertentangan-pertentangan keras, karena hubungan antara Agama (Islam), Nasionalisme dan Komunisme tidak pernah diselesaikan secara demokratis dan menjadi beban sejarah.  Maka demokratisasi di Indonesia masih menempuh jalan yang panjang untuk mencapai yang ideal, pilihan ini juga disepakati sebagai agenda bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline