Lihat ke Halaman Asli

Kisah Langit Jingga (09)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesampainya di kampus aku bersembunyi di atap gedung dan menangis lagi di sana. Sampai berapa lama aku tak tahu, mungkin beberapa jam, hingga aku berpikir mungkin sebaiknya aku tak perlu lagi merasakan sesak di dalam dadaku karena pertengkaran Papa-Mama. Aku melihat ke pinggiran atap gedung dan berdiri menatap ke bawah dari gedung setinggi lima lantai itu. Sebuah pikiran jahat menggodaku; ia berbisik kalau aku melompat dari atas sini, maka aku tak perlu lagi menderita seperti ini. Ya, aku muak dengan semua pertengkaran mereka. Toh, sudah sejak lama aku tak merasakan lagi kehangatan mereka atau kedamaian di hatiku, hasut pikiranku yang lain. Setiap kali bertemu, bukannya menanyakan keadaanku, mereka hanya punya waktu untuk saling berteriak dan melempar caci maki satu sama lain.

Aku ingin berlari saja dari semua ini. Aku ingin melompat dari sini dan mengakhiri semuanya.

Kemudian, tepat pada saat itu, tiba-tiba aku merasa seperti deja vu. Aku seperti kembali ke titik awal dan merasa pernah mengalami ini semua. Seakan ada sebuah proyektor tak kasat mata di dalam otakku yang memutar kembali semua adegan dalam kejadian yang kualami hari ini—seperti aku telah melihat masa depan itu sendiri:

Aku menyaksikan diriku tiba-tiba mengangkat sebelah kakiku dari ujung pagar pembatas atap gedung dan melangkah di udara dengan mata terpejam. Di bawah, orang-orang berwajah kalut berteriak panjang “JANGAAAAAAANN…!!”. Namun apa lacur, tubuhku melayang menabrak gravitasi disertai suara “Brukk!” yang mengerikan dan memekakkan telinga hingga ke dalam hati yang siapa saja yang mendengarnya. Orang-orang berwajah kalut itu kini berteriak histeris, ada pula yang membekap mulutnya dengan napas tertahan, menyaksikan tubuhku bersimbah darah—darah mengalir deras dari semua bagian tubuhku yang patah. Aku sekarat, sekujur tubuhku tak dapat digerakkan, hanya bola mataku saja yang masih bergerak bebas dengan tatap lamur. Beberapa hembusan nafas lagi aku pasti akan mati…

“Hah… hah…” Aku ketakutan setengah mati setelah melihat bayangan itu. Tubuhku gemetaran sembari memegangi pagar pembatas atap gedung.

“CKIIIIIIITT…!!”

Belum habis keterkejutanku, tiba-tiba terdengar suara decit nyaring roda yang beradu dengan lantai semen di belakangku. Berbarengan dengan itu terdengar pula suara seperti aliran listrik yang beradu di udara “ZZZZRRRTT… ZZZZRRRTT!”. Sekejap kemudian aku menoleh dengan kaget, sekonyong-konyong kulihat seorang pemuda berdiri dengan napas tersengal dan sorot mata serius di atas sepeda motornya. Bagian luar jaket kulitnya tampak berasap dan mengelupas seperti tercabik-cabik. Entah dari mana munculnya sebuah sepeda motor dan pengendaranya di atas atap gedung kampus, aku tak habis pikir. “Bagaimana mungkin… dan siapa sebenarnya dia?” tanyaku dalam hati.

“Jingga! Apapun yang kamu pikirkan saat ini, jangan lakukan itu!” teriaknya.

Hah? Ia mengenalku. Ah, suara itu…

“Jangan melompat!” Ia melepaskan helmnya, menatapku lekat-lekat. “Saya mohon, Jingga… kemarilah!”

Aku mengernyitkan dahi,“Langit?” gumamku. Iya, aku tak salah lihat. Dari mana ia tahu aku ada di atas sini? Dan dari mana ia tahu aku akan melompat…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline