Lihat ke Halaman Asli

Kisah Langit Jingga (02)

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

You and I must make a pact,
We must bring salvation back
Where there is love, I'll be there

I'll reach out my hand to you,
I'll have faith in all you do
Just call my name and I'll be there

(I’ll Be There - The Jackson 5)

Pagi ini aku berangkat kuliah lebih siang dari biasanya. Penyebabnya saat aku memasuki kamar Mama untuk berpamitan aku mendapati muntahnya berserakan di lantai. Di atas ranjang ia terlelap dengan raut kuyu, gurat kesedihan tergampar di wajahnya. Semalam Mama bertengkar hebat dengan Papa yang sudah tiga hari tak pulang. Sementara di samping ranjangnya sebotol Jack Daniels teronggok di atas sebuah meja kecil. Aku tak tega meninggalkan Mama begitu saja. Terpaksa aku meletakkan kembali tasku dan membereskan muntahnya. Dan juga mengganti botol minuman keras di atas meja dengan sepiring nasi goreng sosis buatanku dan segelas susu. Kemudian setelah itu barulah aku mengecup kening Mama dan lekas meninggalkan tempat itu.

Sesampai di tempat pangkalan ojek di depan komplek aku mendapati Langit, si pemuda tukang ojek palsu kemarin, telah menungguku dengan sungging senyum di wajahnya. Huh, ekspresi yang salah untuk menyambut mood-ku yang sedang buram pagi ini! Ia menyapaku ramah. Meski ia dan sepeda motornya bertengger di barisan paling depan di antara tukang ojek lainnya, yang artinya menurut kode etik tukang ojek adalah yang berhak untuk mendapatkan penumpang lebih dulu, tapi aku sengaja melewatinya.

Aku beralih pada Bang Karim di barisan paling ujung dan memintanya untuk mengantarku ke kampus, tapi ia menolak dengan alasan tengah menunggu penumpangnya yang lain. Berlanjut ke Bang Irsyad di sebelahnya, ia juga menolak karena tengah asyik menyantap gorengan. Lalu Bang Iman dan Bang Hendra juga menolakku, terakhir Bang Yuda malah menyarankanku untuk mengojek motor Langit di sebelahnya karena, katanya, ia lagi kurang enak badan. Gak enak badan kok ngojek? Alasan macam apa itu? batinku sebal.

Terpaksa deh, mau tak mau aku menaiki motor Langit dengan enggan. Seketika si empunya langsung menyodorkan sebuah helm padaku sambil nyengir.

Berbanding terbalik dengan suasana hatiku, di sepanjang perjalanan memboncengku Langit tampak riang. Ia bersiul menyenandungkan lagu jadul I’ll Be There-nya The Jackson 5. Aku protes karena menurutku suara siulannya itu paling jelek sedunia. Tapi ia bilang ia tengah menyanyikan kebenaran. Ia bilang hari itu, dengan sungguh-sungguh, entah ia merayuku atau tidak, “Kamu kelihatan gak terlalu baik hari ini. Kamu tahu, kalau kamu sedang ada masalah atau membutuhkan bantuanku, I’ll be there...

Aku tersentak di belakang punggungnya, tertegun. So sweet, huh? Aku menjitak helm-nya. Keras. Ia mengaduh.

“Katamu kamu bukan tukang ojek, kenapa kamu ada di pangkalan ojek pagi ini?” tanyaku kemudian.

“Saya menunggumu,” jawabnya. Kembali aku tersentak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline