Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Kebiasaan "Ketok Harga" sebagai Bagian Budaya Mudik?

Diperbarui: 1 Juni 2019   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

No Money oleh Horst Tinnes - Foto: pixabay.com

Ramai dan riuh sosmed membahas ketok harga keterlaluan rumah makan di Tegal. Harga sajian seafood yang rumah makan ini diketok harganya dari 600 ribu sampai 1,7 juta Rupiah. Padahal yang dimakan konsumen tidak dianggap setimpal dengan kuantitas dan rasanya.

Dalam konteks jelang Lebaran ini, gelombang pemudik membanjiri daerah dan jalur mudik. Dari mulai toko kelontong. Penjaja makanan di lampu merah. Sampai restoran mendapat berkah dari musim mudik.

Para pemudik tentu akan merasa lapar dalam perjalanan jauhnya. Mencari warung dan rumah makan menjadi pilihan membeli makanan. Baik itu makanan ringan maupun makan besar.

Banyak pemudik mungkin membawa makanan dari rumah. Namun tak sedikit yang memilih membeli makanan saat perjalanan. Selain menghemat ruang dalam kendaraan. Sekaligus lebih praktis dan mudik menjadi salah satu cara mereka berwisata kuliner.

Dan dalam kekalutan dan kelaparannya, pemudik tak jarang pasrah mendapati ketok harga penjual. Tak wajar dalam ukuran personal pada harga makanan yang kita tahu. 

Namun tak jarang pemudik memaklumi. Umumnya dengan alasan yang direka sendiri dan menjadi konvensi tak terucap, yaitu: 

  • Karena akan Lebaran, wajar jika ada kenaikan harga. Fenomena umum pada hampir semua barang dan jasa 
  • Kelebihan dari harga normal dianggap berbagi rezeki. Toh karena pemudik umumnya membawa cukup uang
  • Daripada tidak makan. Lalu merasa lapar. Akan hilang konsentrasi mengemudi. Atau bahkan ngantuk malah bisa berbahaya.
  • Datang untuk makan atau membeli barang di tempat yang dihampiri hanya setahun sekali. Belum tentu tahun depan akan kembali.
  • Jika bertanya atau protes pada harga yang tidak wajar. Malah akan menimbulkan keributan. Apalagi jauh dari rumah dan di daerah orang lain.

Sehingga terbentuk sebuah aforisme. Yang untung adalah penjual. Dan yang buntung adalah pembeli. 

Namun benarkah demikian jika dipandang dari perspektif penjual? Mungkin apa yang ada dalam benak dan tujuan para penjual tidak selalu merugikan pembeli. Beberapa tujuan "ketok harga" oleh para penjual bisa jadi:

  • Karena harga bahan makanan pun tinggi. Biaya operasional pun menggemuk. Maka harga yang ditinggikan marginnya menjadi kewajiban.
  • Pekerja pada warung/rumah makan pun membutuhkan THR. Dari mana datangnya THR jika margin keuntungan dibuat serupa hari biasa.
  • Jarang sekali pekerja yang mau bekerja jelang Lebaran. Maka insentif bonus untuk bekerja ekstra sebelum Lebaran menjadi imbalan selain THR.
  • Belum tentu warung/rumah makan ramai selain saat mudik. Mungkin harga yang dipatok dapat bisa melunasi kerugian operasional sebelum musim mudik.
  • Dan tradisi mematok harga tinggi sudah diketahui dan dianggap wajar di manapun warung/rumah makan. Pemudik pun jarang yang komplain.

Tarik ulur persepsi dan asumsi pemudik sebagai pembeli dan penjual ini berlangsung lama. Sehingga dalam keheningan saat makan. Serta perasaan yang terbentuk saat membayar makanan. Ada anggukan setuju tanpa kata untuk berapapun harga yang dimunculkan dalam bon tagihan. 

Seharusnya, ada negara yang menengahi budaya ketok harga ini. Sebuah proses yang juga ada dalam peraturan kenaikan harga tiket moda transportasi. Lalu mengapa tidak ada aturan dalam pembayaran biaya makan buat pemudik?

Karena toh urusan makan untuk para pemudik sama pentingnya dengan urusan ongkos transportasi. Kurangnya logistik tentu akan mengurangi daya tempuh dan daya tahan para pemudik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline