Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Cerita Si Es Kelapa Muda

Diperbarui: 1 Juni 2018   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Coconut by Daria Shevtsova - foto: pexels.com

Hai kawan, aku suka es kelapa muda untuk berbuka. Kiranya dikau pun begitu. Walau bukan favoritmu, satu dua kali kau pernah menjajalnya bukan. Menyegarkan dan menghilangkan haus seketika. Dan manfaat es kelapa muda, kiranya bisa kau Google sendiri.

Aku hanya ingin menceritakan cerita es kelapa muda. Ini adalah cerita seperti sang kupu-kupu. Namun berbeda intervensi. Jika kupu-kupu bermotif survival dan regenerasi. Maka si kelapa berbeda. Ia adalah metafomorfosis dengan intervensi motif ekonomi. 

Berikut metamorfosis alami kelapa guna regenerasi kawan. Andai kau belum tahu.

Butuh 8 tahun tunas kelapa tumbuh dan menjadi besar lalu berbuah. Pohonnya produktif berbuah selama 30 tahun. Ada 10 sampai 12 buah bisa dipetik dalam satu pohon kelapa. Tapi, kamu harus tunggu 10-12 bulan agar buah kelapa bisa dikonsumsi. Jika lebih dari 16 bulan, kelapa akan menua dan jatuh dengan sendirinya. Dan bersama kematian si kelapa tua, ia membawa bibit kehidupan. Mulia bukan.

Namun manusia, merekayasa dengan intervensi ekonomis mereka.

Kini ada kelapa yang 3 bulan sudah siap petik. Kadang dengan riset genetika, pohon kelapa buah pun kini tidak harus tumbuh tinggi dan lama. Semua demi memenuhi kebutuhan konsumsi. Dengan kata lain, mencukupi perut manusia yang kian banyak. Juga pemanfaatan komersil kelapa yang kian eksploitatif. Dari air, buah, tempurung, serabut kelapa, sampai arang kelapa kini dijual.

Kini kembali pada si es kelapa muda. Sejak usia 9 bulan, kelapa sudah dipetik dari pohonnya. Dengan beruk atau panjat sendiri kelapa dipanen. Beruk adalah korban eksploitasi manusia dengan motif ekonomi hasil kelapa. Ia diikat dan dilatih untuk memanjat dan memetik kelapa. 

Lebih kasian lagi buruh panjat kawan. Ia harus berani dan berstamina memetik kelapa. Demi uang 50 rupiah per kelapa, peduli jatuh atau terpeleset dari atas pohon kelapa. Terluka, patah tulang, atau memar pun ditanggung sendiri. Pemilik kebun kelapa cukup memberi uang secukupnya untuk pijat tradisional. Apalagi tengkulak, mereka mana mau tahu. Pokoknya, truk penuh dengan kelapa.

Lalu kelapa diantar dengan truk atau pickup ke kota. Karena tidak ada kebun kelapa di kota kawan. Kota adalah gambaran era industri dan distopia kapitalisme. Kelapa disana diekonomisasi sampai partikel terkecilnya. Supir pengangkut kelapa hanya sepersekian persen dari berat isi angkutannya. Truk/pickup diisi sepenuhnya. Kalau bisa dua kali tinggi bak. Peduli dengan keamanan supir dan pengguna jalan lain. Yang penting kelapa sampai gudang di kota.

Sesampai di kota, kelapa ditimbun untuk dihitung. Harga per kelapa dikalkulasi untungnya. Saat dari petani kelapa dihitung per-bak truk/pickup. Di gudang kota, sudah dihitung per kelapa. Untung sudah bisa 2 kali lipat. Tinggal menunggu pengecer dan agen datang. Tawar-menawar harga borongan terjadi. Para pengecer ini pun sudah memperkirakan untung 50%-80% dari harga per buah.

Saat sampai penjual kecil, si kelapa pun menjadi otoritas penjual. Entah untuk dibuat es kelapa atau di campur dengan bahan minuman lain. Kelapa pada tahap ini mendekati tahap akhir metamorfosis. Ya, sebelum masuk ke dalam mulut para konsumen. Menjadi penghilang dahaga berbuka puasa. Menjadi oleh-oleh sang ayah yang pulang kerja sore nanti. Atau dibuat es kelapa muda buatan sendiri di rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline