Lihat ke Halaman Asli

Gilang abitio

Mahasiswa yang sedang menempuh program sarjana ilmu komunikasi S1

Ricikan dan Variasi rancang Bangun disetiap Zaman

Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kajian teknis mengenai keris, hal pertama yang sering menjadi titik pembahasan adalah ricikan. Ricikan merupakan unsur dasar yang membentuk dhapur sebuah keris. Secara umum, dari zaman ke zaman, ricikan yang menentukan dhapur ini tidak mengalami perubahan besar. Elemen-elemen seperti gandik, sogokan, pejetan, tikel alis, blumbangan, dan bagian-bagian lain yang menjadi syarat utama sebuah bilah tetap dipertahankan. Stabilitas ricikan inilah yang membuat keris dari abad ke abad tetap bisa dikenali identitasnya, meskipun usianya ratusan tahun.

Namun, meski ricikan utama relatif konstan, rancang bangun keris di setiap era menunjukkan adanya variasi. Perbedaan tersebut dapat diamati secara langsung pada bentuk fisik, proporsi, hingga detail tertentu pada bilah maupun gonjo. Perbedaan rancang bangun ini memberi ciri khas pada keris dari tiap masa, sehingga memungkinkan para pengkaji maupun kolektor untuk mengelompokkan sebuah bilah berdasarkan periodenya.

Salah satu contoh nyata adalah keris era Jenggolo. Keris-keris dari masa ini memperlihatkan bentuk gonjo yang tinggi. Dari sisi teknis, gonjo tinggi dapat terlihat jelas bila dibandingkan dengan keris dari era setelahnya. Proporsi bilah terhadap gonjo menciptakan kesan yang tegas pada bagian bawah keris. Tingginya gonjo inilah yang sering dijadikan penanda bahwa sebuah keris kemungkinan berasal atau meniru gaya dari era Jenggolo.

Beralih ke era Majapahit, ciri yang menonjol adalah bilahnya yang relatif kecil dan ramping. Hal ini bisa diperiksa pada ukuran panjang, lebar, serta ketebalan bilah. Keris Majapahit tidak memperlihatkan ukuran yang besar, melainkan justru lebih halus dari segi dimensi. Kecil dan rampingnya bilah ini menjadi tanda khas sehingga bilah dari masa Majapahit mudah dikenali, meski ricikan dasarnya sama dengan keris dari periode lain.

Kemudian pada era Pakubuwono, rancang bangun keris menunjukkan adanya tambahan detail berupa tungkaan di bagian gonjo. Tungkaan ini secara teknis merupakan tonjolan tambahan yang menjadi bagian dari desain. Kehadiran tungkaan memberi perbedaan yang jelas bila dibandingkan dengan keris dari era sebelumnya. Secara bentuk, bilah keris Pakubuwono masih mengikuti pola umum, tetapi dengan modifikasi pada bagian gonjo yang bisa diidentifikasi dengan mudah.

Dari tiga contoh tersebut gonjo tinggi pada keris Jenggolo, bilah kecil pada keris Majapahit, dan tungkaan di gonjo pada keris Pakubuwono kita dapat melihat bahwa rancang bangun keris memang selalu membawa ciri khas tiap zaman. Meskipun ricikan utama tetap sama, perbedaan teknis inilah yang menjadikan keris dari tiap era memiliki identitas bentuk tersendiri.

Fenomena variasi rancang bangun ini erat kaitannya dengan peran raja-raja di Nusantara. Setiap penguasa pada masanya berusaha meninggalkan jejak pada dunia keris. Keris dijadikan bagian dari warisan kebudayaan sekaligus tanda identitas periode kekuasaan tertentu. Perbedaan yang muncul dari satu zaman ke zaman lain bukanlah hal kebetulan, melainkan sebuah bentuk penegasan bahwa setiap kerajaan memiliki gaya sendiri. Dengan demikian, keris tidak hanya sekadar benda pusaka, tetapi juga bukti sejarah yang menunjukkan kesinambungan sekaligus perbedaan antarperiode.

Kecenderungan penguasa untuk menegaskan gaya tertentu melalui keris dapat dilihat dari banyak contoh bilah yang masih tersisa hingga sekarang. Koleksi museum maupun koleksi pribadi para pecinta keris memperlihatkan bagaimana rancang bangun tersebut dapat dipetakan secara kronologis. Dengan memperhatikan bentuk gonjo, bilah, maupun detail lainnya, maka dapat disusun urutan gaya yang terkait dengan masa kekuasaan tertentu.

Bagi para kolektor, keberadaan variasi bentuk di setiap era merupakan keuntungan. Variasi ini menjadi dasar untuk melakukan identifikasi. Ketika sebuah bilah ditemukan, analisis teknis terhadap proporsi gonjo, ukuran bilah, atau keberadaan tungkaan dapat langsung mengarah pada kesimpulan mengenai era pembuatan atau gaya yang ditiru. Tanpa perbedaan-perbedaan teknis tersebut, sulit membedakan keris dari satu zaman dengan zaman lain.

Demikian pula bagi para empu keris. Variasi bentuk dari tiap periode menjadi rujukan untuk proses penciptaan kembali. Seorang empu yang ingin membuat keris bergaya Jenggolo akan menekankan gonjo yang tinggi. Empu yang meniru gaya Majapahit akan membuat bilah kecil dan ramping. Sementara bila ingin menghadirkan gaya Pakubuwono, maka tambahan tungkaan pada gonjo akan disertakan. Dengan cara ini, gaya lama dapat dilestarikan, sekaligus menunjukkan keterhubungan antara karya masa kini dengan karya masa lalu.

Keteraturan ini juga membantu dunia perkerisan dalam hal klasifikasi. Kajian teknis bisa berjalan dengan lebih sistematis karena ada titik rujukan jelas berupa ciri khas rancang bangun di tiap era. Dengan demikian, meskipun keris pada dasarnya sama dari sisi ricikan, detail-detail tertentu dapat menjadi petunjuk penting untuk memastikan asal-usul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline