Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Tujuh Dekade Konferensi Asia Afrika (KAA): Menggugah KAA Progresif di Tengah Dunia yang Agresif

Diperbarui: 18 April 2025   09:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung (Sumber: www.bandung.go.id)

Tujuh dekade yang lalu, Bandung menjadi panggung sejarah dunia. Untuk pertama kalinya, puluhan negara Asia dan Afrika—yang sebagian besar baru merdeka dari cengkeraman kolonialisme—berkumpul dan membangun sebuah tekad di Bandung melalui Dasasila Bandung yaitu menciptakan dunia yang lebih damai, setara, dan bebas dari dominasi blok kekuasaan mana pun. Momen yang menjadi warisan sejarah tonggak politik yang strategis dan kontekstual dalam membangun poros alternatif atas dunia dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955.

Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan pada 18–24 April 1955 di Bandung, Indonesia, merupakan respon dari negara-negara Asia dan Afrika atas dominasi kekuatan kolonial dan ketegangan Perang Dingin. KAA yang diprakarsai oleh lima negara: Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar) ini sebelumnya bertemu dalam Konferensi Kolombo (1954), untuk membangun solidaritas di antara negara-negara Dunia Ketiga, memperkuat posisi mereka dalam percaturan internasional, dan mendorong perdamaian dunia tanpa campur tangan dari blok Barat atau Timur.

Konferensi yang dihadiri oleh tokoh-tokoh besar seperti Ali Sasatroamidjojo, Mohammad Ali Jinnah, Jawaharlal Nehru, Sir John Kotelawala, U Nu sampai Zhou Enlai ini bukan sekadar pertemuan diplomatik. Mereka adalah deklarasi politik dari negara-negara Dunia Ketiga: bahwa negara-negara Asia - Afrika bukan pion dalam permainan catur antara blok Barat dan Timur, melainkan subjek yang setara dalam tatanan internasional. Lewat Dasasila Bandung, para pemimpin Asia-Afrika menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan, non-intervensi, dan kerja sama damai. Dari sinilah kelak tumbuh Gerakan Non-Blok, yang berusaha menjaga jarak dari rivalitas ideologis Perang Dingin (Widjojo,1955)

Namun sejarah tak selalu bergerak lurus. Dunia pasca-KAA menyaksikan realitas yang jauh dari harapan Dasasila Bandung. Di tengah situasi dan iklim globalisasi geopolitik dewasa ini, yang ditandai oleh konflik Rusia-Ukraina, ketegangan AS-Tiongkok, konflik Israel - Palestina serta krisis multidimensi seperti perubahan iklim dan ketimpangan global, menunjukkan dunia tengah bergerak menuju fragmentasi geopolitik yang mengancam multilateralisme.

Dunia dalam Krisis Globalisasi

Dunia hari ini tengah berada di tepi ketegangan baru. Di satu sisi, kita hidup dalam era yang disebut “global”—terhubung oleh teknologi, perdagangan, dan mobilitas. Namun, di sisi lain, dunia terasa semakin terpecah, penuh konflik, dan dikuasai logika kekuatan besar. Sebut saja konflik Israel - Palestina dimana tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung menelanjangi hipokrisi global. Ketika Gaza dibombardir, ribuan warga sipil menjadi korban, dunia terbagi, dimana sebagian menyuarakan hak asasi manusia, sebagian lainnya membungkam karena aliansi politik. KAA 1955 sejak awal secara eksplisit menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina, sebagai bagian dari agenda anti-kolonial dan hak penentuan nasib sendiri. Dalam situasi sekarang, seruan itu menjadi alarm moral bahwa perdamaian sejati hanya lahir dari keadilan, bukan dominasi militer.

Kemudian dari kacamata globalisasi ekonomi, yang semula dipromosikan sebagai pembawa keterbukaan dan pertumbuhan, justru memperlebar kesenjangan antar negara melalui persaingan ekonomi, perang militer, dan perebutan pengaruh. Perdagangan bebas menjadi ruang akumulasi kapital negara-negara maju yang membuat banyak negara berkembang tersandera dalam mata rantai produksi global yang tidak adil. Konflik dagang yang dimulai sejak 2018, dipicu oleh kebijakan tarif proteksionis AS terhadap produk China, telah menciptakan ketidakpastian global. Negara berkembang menjadi korban tak langsung dari ketegangan ini karena terganggunya rantai pasok dan arus investasi global (Evenett & Fritz, 2020). Perang dagang antara AS dan China telah memperlihatkan bentuk baru dari rivalitas hegemonik yang berdampak sistemik pada negara-negara Selatan(Breslin, 2021, p. 59).  Situasi ini membawa pada dominasi neo-liberalisme konteks yang memperlebar jurang ketimpangan, serta krisis lingkungan dan perubahan iklim yang semakin akut merupakan gejala dari satu akar masalah besar: ketimpangan sistemik dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya global.

Dalam konteks saat ini, perang tarif antara Amerika Serikat dan China menghadirkan kembali dinamika yang mirip, di mana negara-negara berkembang dihadapkan pada tekanan untuk berpihak dalam persaingan geoekonomi global (Acharya, 2016).  Negara-negara Global Selatan — termasuk Indonesia — kembali dihadapkan pada posisi sulit: dipaksa memilih di tengah tekanan ekonomi dan diplomasi dari kedua kubu. Alih-alih memilih antara AS atau China, semangat KAA justru menekankan pentingnya jalur independen dan solidaritas negara-negara berkembang (Global South), sebagaimana KAA menjadi simbol dari usaha kolektif negara-negara dunia ketiga untuk keluar dari tekanan politik dan ekonomi dua blok besar (Westad, 2005, p. 143). Semangat KAA masih relevan dalam mendorong kerja sama ekonomi antar negara berkembang. Organisasi seperti G-77, BRICS, dan ASEAN menjadi sarana aktualisasi solidaritas Selatan-Selatan (Mawdsley, 2012). Dalam konteks perang tarif, pendekatan ini bisa menjadi alternatif untuk menghindari ketergantungan tunggal pada kekuatan besar.  Negara-negara berkembang tidak harus menjadi medan perebutan, mereka bisa menjadi aktor yang menentukan dalam tatanan multipolar baru (Acharya, 2018).  

Kemudian dominasi neoliberalisme global, seperti dikritik oleh David Harvey, mewujud dalam praktik accumulation by dispossession—di mana negara-negara kaya terus memperluas akumulasi modal dengan mengorbankan hak tanah, sumber daya alam, dan kebijakan ekonomi negara-negara berkembang (Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism, 2005). Praktik itu terus bekerja melalui privatisasi dan penjarahan sumber daya publik dialihkan ke tangan korporasi transnasional demi akumulasi modal seperti yang terjadi di Bolivia dalam perang air Cochabamba, Ethiopia, Sudan, Mozambique yang terjebak pada neokolonialisme agraria melalui eksploitasi lahan dan pangan untuk konsumsi luar negeri, bukan untuk rakyat (land grabbing), lalu beberapa potret peristiwa perampasan sumber daya alam, dan represi terhadap komunitas lokal di Indonesia (Tempo, 2024). Ini adalah contoh klasik dari resource curse dan penjajahan ekonomi internal atas nama pembangunan yang seringkali terkooptasi oleh korporasi global dan negara-negara maju (Escobar, 1995; Sassen, 2014). Di lain sisi, sebagaimana kita menyaksikan globalisasi mengalami disrupsi karena rivalitas dua raksasa, Amerika Serikat dan Tiongkok dalam perang dagang yang dimulai sejak era Trump yang berimplikasi pada kenaikan harga barang konsumen, jatuh nilai tukar mata uang negara-negara berkembang sampai potensi PHK (Kompas, 2025).

KAA Progresif

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline