Lihat ke Halaman Asli

Funpol

Penulis

Hoax Politik Makin Masif, Pentingnya Literasi Politik dan Masyarakat Melek Data

Diperbarui: 1 Desember 2022   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: litbang.kemendagri.go.id

Menjelang Pemilihan Presiden 2024, ramai perbincangan mengenai calon potensial yang akan menggantikan posisi Presiden Jokowi, terutama di media sosial atau online. Ramainya perbincangan capres ini, kerap kali disertai dengan masifnya reproduksi konten-konten politik yang tak benar atau hoax.

Setidaknya menurut catatan Masyarakat Antifitnah Indonesia, pada Januari-Oktober 2022, ada 441 hoax politik. Konten hoax ini sangat bervariasi, dari yang menyerang figur potensial calon presiden 2024 hingga penyelenggara pemilu atau Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam acara diskusi bertajuk Indonesia Fact Check Summit 2022", di Jakarta, Rabu (30/11/2022), Ketua Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan jika konten-konten hoax yang bertebaran di media sosial dan  online saat ini, tak jauh berbeda dengan hoax-hoax politik pada pemiliu sebelumnya.

Isu politik yang kerap diproduksi berkutat pada politik identitas, ketidaknetralan KPU, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Eko mengatakan jika isu-isu tersebut, kemungkinan akan tetap mendominasi konten hoax di pemilu 2024.

"Isu yang muncul mirip dengan yang terjadi di 2019, satu-satu mulai keluar, seperti contohnya warga negara asing diperbolehkan ikut memilih di pemilu. Lalu, ada saling lempar hoaks antarkandidat presiden, atau antarkelompok yang diasosiasikan sebagai pendukung juga mulai terjadi," katanya, dikutip dari Kompas.id, pada Kamis, (1/12/2022).

Sementara itu, dari hasil evaluasi pada pemilu 2019 yang lalu, konten-konten hoax akan mulai masif sejak lima hingga enam bulan menjelang pencoblosan. Masifnya hoax di tengah-tengah kontestasi pemilihan pemimpin baru ini, tak terlepas dari rendahnya edukasi literasi politik masyarakat dan kemampuan untuk memverifikasi berita dengan benar.

"Setiap pemilu ada kerentanan, dan tahun 2024 tantangannya sepertinya masih sama seperti 2019, soal politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan isu ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu, seperti Bawaslu dan KPU. Hoaks ini perlu ditangkal agar pemilu berjalan damai," ucapnya.

Oleh karena itu, perlunya upaya mitigasi dalam menangkal setiap konten-konten hoax di media online. Salah satu caranya dengan mensosialisasikan larangan dalam pemilu yang harus diketahui publik. Seperti larangan kampanye berisi muatan yang menghina, menghasut, memfitnah, dan mengadudomba, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

"Sebanyak 87 persen pelanggaran Pemilu 2019 adalah hasil temuan Bawaslu, hanya 19 persen dari laporan masyarakat. Kita perlu bangun literasi dan edukasi agar warga tahu apa saja yang menjadi pelanggaran pemilu," ujarnya.

Literasi politik dan melek data 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline