Lihat ke Halaman Asli

Quaerere Kristianos, antara Eksentrik atau Egosentrik?

Diperbarui: 6 April 2025   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Markus 10 : 43-45, Matius 23 : 11, Lukas 22 : 26, 1 Timotius 4 : 12, Roma 12 : 21,  Matius 5 : 39, Yohanes 8 : 7, dan dinaungi oleh Lukas 23 : 34. Ayat-ayat di atas bila dibaca sekilas, nampaknya memiliki nafas yang berbeda. Kendati, sebetulnya terdapat benang merah yang menghubungkan masing-masing dari ayat tersebut.

Benang merah tersebut adalah menjadi eksentrik (excentricus), yang artinya di luar pusat. Terminologi ini berasal dari kata "ex" (di luar), dan "centrus" (pusat). Perjalanan Yesus selama Dia hidup bila direnungkan sebetulnya mengajarkan para pengikutnya (Kristianos) untuk menjadi orang-orang yang eksentrik.

Masalahnya, berapa banyak dari antara kita yang sudah sadar esensi sejati keKristenan ini? Atau jangan-jangan, gagal dalam memahami sifat eksentrik tersebut hingga jatuh ke dalam "ke-aku-an" atau yang biasa dikenal sebagai egosentrik/narsistik. Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba untuk mengupas distingsi antara menjadi eksentrik dan egosentrik tersebut.

Untuk memahami eksentrik dan egosentrik, kita harus memahami terlebih dahulu etimologinya. Eksentrik, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berarti "di luar pusat". Lalu bagaimana dengan egosentrik? Terminologi ini berasal dari Bahasa Yunani juga--sama seperti eksentrik--yakni "ego" (aku/diri) dan "sentris/sentrik" (pusat). Maka, bila disederhanakan "egosentrik" artinya adalah memusatkan segala sesuatunya pada "aku".

Hal tersebut berbeda dengan "antroposentris", walaupun pada titik tertentu kita bisa melihat irisannya satu sama lain. Egosentrik di sini lebih bisa dipadankan dengan istilah narsistik, yang artinya juga kurang lebih sama seperti egosentrik, yakni berpusat pada "aku".

Ada alasan mengapa saya menyandingkan eksentrik dengan egosentrik pada judul tulisan kali ini. Hemat saya, eksentrik bila tidak dipahami dengan baik, maka akan sangat mungkin jatuh ke dalam egosentrik. Eksentrik yang bisa juga diterjemahkan menjadi "berbeda", akan sangat beririsan dengan egosentrik/narsistik ketika mayoritas dalam suatu wilayah tertentu melakukan perbuatan yang kontras dengan sifat egosentrik--salah satunya altruisme.

Ketika dalam suatu tempat/wilayah mayoritasnya justru melakukan altruisme, sering berbagi, dsb. Justru makna eksentrik menjadi kontras dengan semangat awal Yesus dalam pelayanannya dahulu kala. Oleh karenanya, eksentrik seharusnya dipahami tidak secara parsial, melainkan holistik.

Kita harus menggunakan kacamata yang lebih luas untuk memahami eksentrisme--isme: biasanya untuk menunjukkan sifat tertentu--ini. Maka, kalaupun di satu wilayah terdapat mayoritas orang yang mengimplementasikan altruisme, kita harus melakukan hal yang sama. Bukan justru menjadikan eksentrik sebagai dalih untuk berbuat semena-mena hanya karena sudah banyak orang yang berbuat "baik" di wilayah tersebut. Terlebih kita juga harus melihat lebih luas lagi, apakah dari kacamata yang lebih makro masih lebih banyak orang yang altruistik daripada egosentrik? 

Selain itu, irisan antara eksentrik dan egosentrik juga bisa terjadi ketika kita justru menganggap artinya menjadi berbeda/di luar pusat itu berarti sepenuhnya berada dalam otoritasku sebagai makhluk hidup yang bebas. Hingga kemudian kita menerjemahkan eksentrik menjadi narsistik, karena menganggap bahwa menjadi berbeda artinya kita harus tampil lebih "wow" dari yang lain, lebih "mempesona" dari yang lain, lebih "memukau" dari yang lain.

Persis di titik ini sebetulnya sifat eksentrik menjadi sangat berbahaya. Karena, bila kita kembali mengacu pada ayat-ayat di atas, kita bisa kembali menyadari bahwa Yesus sama sekali tidak pernah mengajarkan murid-muridnya atau para pengikutnya untuk menjadi narsistik atau bentuk-bentuk dari egosentrik lainnya.

Kompleksitas inilah yang menurut saya menjadi menarik untuk direnungkan oleh orang-orang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus (Kristianos). Walaupun di titik yang lain, bila kita sebagai para pengikut Kristus pernah jatuh ke dalam kesalahpahaman ini juga bukan berarti kemudian kita tidak bisa menerima pengampunan dan kembali ke "titik nol" kita yakni Yesus itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline