Di tengah derasnya tuntutan hidup dan kompetisi pasar kerja yang semakin kejam, satu fakta terasa makin mencolok rakyat dibiarkan bersaing sendiri mencari penghidupan, sementara negara tetap hadir bukan untuk membantu, tapi untuk menagih. Negara tampak absen saat pengangguran meningkat, pendidikan tak lagi menjamin pekerjaan, dan generasi muda kehilangan arah. Tapi begitu seseorang bekerja, negara segera datang, bukan membawa solusi, tapi menagih pajak.
Negara Hadir Saat Rakyat Sudah Mandiri, Tapi Menghilang Saat Mereka Butuh
Kita tumbuh dengan harapan bahwa negara adalah pengayom, pelindung, bahkan penyedia keadilan. Tapi kenyataan seringkali tak seindah itu. Ketika seseorang menganggur, putus asa mencari kerja, atau berjuang bertahan dengan kerja serabutan, negara nyaris tak terlihat. Tak ada kepastian bantuan, pelatihan kerja yang relevan, apalagi jaminan akan ditempatkan di lapangan kerja yang layak. Namun anehnya, begitu rakyat berhasil mendapatkan pekerjaan dari hasil usaha sendiri entah sebagai karyawan, freelancer, atau pengusaha kecil negara tiba-tiba datang menagih haknya dalam bentuk pajak.
Ini menciptakan rasa frustrasi yang dalam. Bukan karena rakyat enggan membayar pajak, tapi karena kontribusi itu terasa timpang. Ibarat seseorang yang tiba-tiba ikut makan setelah kamu susah payah memasak sendiri tanpa bantuan. Negara hadir di hasil, tapi tak terlibat dalam proses. Dan ini bukan hanya masalah keadilan, tapi cermin dari relasi kekuasaan yang timpang antara negara dan rakyatnya.
Rasa ketidakadilan ini semakin kentara ketika melihat data pengangguran terbuka yang masih tinggi, terutama di kalangan muda. Banyak yang berpendidikan tinggi namun tak memiliki akses pekerjaan yang sepadan. Di sisi lain, regulasi pajak makin rapi, makin canggih, makin efisien. Negara seperti lebih fokus memaksimalkan pendapatan, bukan memberdayakan rakyat. Ini menunjukkan bahwa sistem lebih peduli pada kontrol dan penarikan, bukan pemberdayaan.
Negara Memaksa Rakyat Bertahan Sendiri, Lalu Menagih Kontribusi
Ada narasi umum yang semakin kuat belakangan ini: rakyat harus mandiri, jangan bergantung pada negara. Konsep ini sering dikaitkan dengan semangat wirausaha, daya saing global, dan kreativitas individu. Tapi di balik narasi indah itu, terselip kenyataan pahit negara perlahan melepaskan tanggung jawab dasarnya.
Pendidikan mahal dan tidak selalu relevan dengan kebutuhan industri. Akses modal terbatas hanya bagi yang sudah punya koneksi atau agunan. Lapangan kerja justru lebih banyak disumbang sektor informal dan ekonomi digital, yang tumbuh karena kegigihan rakyat sendiri. Di sinilah terjadi pergeseran diam-diam: negara menuntut rakyat untuk tangguh, tapi tidak memberi dukungan yang cukup agar mereka bisa bangkit.
Saat seorang anak muda membuka usaha kecil dari nol, dia tidak mendapat pelatihan, tidak ada subsidi, tidak ada perlindungan hukum. Tapi begitu usahanya tumbuh, ia dikenai pajak, diharuskan mengurus izin, dan diawasi regulasi. Ini bukan dorongan kewirausahaan, ini adalah bentuk ekstraksi.
Negara harusnya menjadi mitra. Tapi kini, ia lebih menyerupai aparat pemungut yang menonton dari kejauhan lalu datang ketika uang mulai mengalir. Apakah ini bentuk negara yang kita impikan? Apakah fungsi negara memang sebatas sebagai penonton yang menagih tiket masuk?