Bayangkan jika kamu bisa berangkat kerja tanpa harus bermacet-macetan di jalan. Tidak perlu lagi menatap jam dengan cemas karena takut terlambat. Tidak perlu khawatir soal biaya bensin, parkir, atau stres di jalanan yang tak bergerak. Kedengarannya menyenangkan, bukan? Tapi kenyataannya, sebagian besar dari kita justru menghabiskan waktu berjam-jam dalam kendaraan pribadi, terjebak di kemacetan yang seolah tak ada ujungnya. Padahal, di balik semua itu, ada satu solusi sederhana yang terus-menerus disebut, tapi jarang benar-benar dipercaya: transportasi umum. Apakah ini benar solusi? Atau
Transportasi Umum di Indonesia
hanya sekadar ide manis yang tidak pernah dipikirkan matang?Transportasi umum di Indonesia kerap digadang-gadang sebagai jawaban dari masalah klasik kota-kota besar: kemacetan parah dan polusi udara yang kian memburuk. Pemerintah pusat maupun daerah berlomba-lomba mempromosikan layanan angkutan publik mulai dari bus rapid transit, kereta cepat, hingga integrasi moda digital. Tapi, ketika turun langsung ke lapangan, kita menemukan kenyataan yang jauh berbeda dari narasi promosional yang dibangun.
Di banyak kota, layanan transportasi umum justru minim, tidak terintegrasi, tidak nyaman, dan sulit dijangkau. Warga yang mencoba berpindah moda dari kendaraan pribadi ke angkutan publik sering kali malah merasa kapok. Antrean panjang, jadwal yang tidak menentu, halte yang jauh dari tempat tinggal, hingga pengalaman buruk dalam hal keamanan dan kebersihan membuat harapan menjadi penumpang justru berubah menjadi keluhan.
Jakarta memang telah berkembang pesat dengan kehadiran MRT, LRT, dan integrasi sistem pembayaran yang mulai membaik. Tapi kondisi ini belum bisa dijadikan gambaran umum untuk seluruh Indonesia. Di kota-kota lapis kedua dan ketiga, seperti Pekanbaru, Makassar, atau Malang, keberadaan transportasi umum masih sangat terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya soal ketersediaan moda, tetapi juga konsistensi kebijakan, pemerataan pembangunan, dan pemahaman yang keliru soal mobilitas masyarakat.
Apakah Transportasi Umum Hanya Sekadar Gimmick Pencitraan?
Dalam banyak kasus, pembangunan sarana transportasi umum tampak lebih seperti proyek citra ketimbang kebutuhan nyata masyarakat. Peresmian halte modern, armada bus baru, atau aplikasi pemesanan online sering kali dijadikan bahan promosi politik. Tapi setelah proyek diresmikan, perhatian terhadap keberlanjutan, perawatan, dan kenyamanan pengguna malah berkurang drastis.
Beberapa kota pernah menghadirkan sistem bus modern berbasis koridor seperti TransJakarta, tapi gagal mempertahankan operasional karena minim subsidi dan buruknya manajemen. Halte yang dibangun puluhan juta rupiah terbengkalai. Bus hanya beroperasi selama masa promosi, kemudian hilang begitu saja.