Bayangkan kamu berdiri di tepi Danau Toba, angin sejuk menyapu wajah, aroma tanah lembab bercampur kabut pagi masuk ke paru-paru, dan suara alam dulu ramai kini nyaris sunyi. Tak banyak lagi suara burung, tak terlihat gerombolan monyet yang dulu lincah di dahan pohon. Di balik indahnya destinasi super prioritas ini, ada kehidupan yang perlahan menghilang. Flora dan fauna unik yang menjadikan danau toba ini spesial mulai hilang satu per satu. Tulisan ini bukan sekadar ajakan mencintai alam, tapi sebuah refleksi bahwa jika kita tidak bertindak sekarang, maka yang tersisa dari Danau Toba hanya akan menjadi kenangan yang tak lagi hidup.
Kaldera Toba Rumah Tua yang Tak Lagi Dikenal Penghuninya
Kaldera Danau Toba bukan sekadar bekas kawah supervolcano. Tapi adalah ekosistem besar yang dulunya jadi tempat lahir dan tumbuhnya berbagai spesies langka. Hutan di sekitarnya menyimpan ribuan jenis tanaman endemik beberapa bahkan belum sempat dinamai secara ilmiah. Salah satu tanaman yang sempat didokumentasikan peneliti dari IPB dan LIPI adalah Shorea tobaensis, sejenis pohon meranti yang hanya bisa tumbuh dalam tanah vulkanik tua seperti di kawasan ini. Tapi sekarang, keberadaannya dipertanyakan karena lokasi persebarannya telah berubah menjadi ladang wisata dan area pemukiman.
Yang mengejutkan, sebagian besar masyarakat lokal bahkan tidak tahu kalau tanaman-tanaman di sekitar mereka punya nilai ekologis dan medis tinggi. Hal ini mencerminkan kurangnya transfer pengetahuan antara ilmuwan, masyarakat, dan pemerintah daerah. Coba fikirkan kalau flora langka seperti tanaman kantong semar endemik (Nepenthes tobaica) yang bermanfaat untuk menyerap nitrogen akan punah, Indonesia terutama alam kaldera danau toba akan akan kehilangan spesies endmik tapi tanaman yang menjadi salah satu solusi alami untuk menjaga kualitas udara dan tanah.
Tidak hanya flora, binatang endmik yang berada di kawasan ini juga akan bernasib serupa. Burung elang Toba, jenis pemangsa langka yang berperan penting dalam rantai makanan lokal, kini jarang terlihat. Dan hal menyedihkannya lagi, sebagian besar hilangnya spesies ini tidak disebabkan oleh perburuan atau bencana alam, melainkan akibat hilangnya habitat karena pembangunan yang tidak terkontrol.
Antara Ambisi Pariwisata dan Luka Ekologi yang Tak Tampak
Ketika pemerintah menetapkan Danau Toba sebagai destinasi super prioritas, semangatnya adalah mendongkrak ekonomi lewat sektor pariwisata. Tapi seperti dua sisi koin, yang satu bisa berkembang pariwisata disekitaran danau toba dan disisi lain alam tergilas karna pembangunanya . Jalan-jalan baru dibangun menembus hutan primer, hotel dan resort tumbuh seperti jamur setelah hujan, dan permukaan danau dihiasi oleh ratusan keramba jaring apung untuk budi daya ikan konsumsi.
Kamu mungkin berpikir, "Bukankah pembangunan itu baik?" Siapa yang menyangkal, pembangunan memang begitu penting, tapi masalahnya adalah tidak adanya keseimbangan antara dalam pelstarian lingkungan dan konservasi. Hutan gundul menyebabkan aliran air hujan langsung masuk ke danau tanpa penyaringan alami. Ini meningkatkan sedimentasi dan memicu pencemaran air. Data dari Balai Wilayah Sungai Sumatera II menunjukkan tingkat pencemaran air Toba meningkat drastis dalam lima tahun terakhir.
Limbah dari industri pariwisata, termasuk deterjen dari hotel, limbah rumah tangga, hingga limbah keramba ikan yang tidak bisa terkontrol, menyebabkan eutrofikasi. Ini adalah kondisi ketika danau kelebihan nutrien, memicu ledakan alga yang kemudian menyerap oksigen dalam air. Ikan-ikan endemik sudah jarang terlihat mungkn mati dalam diam, dan mikroorganisme unik yang hidup di kedalaman danau mulai punah karena perubahan kualitas air.
Kondisi ini sebenarnya bisa dicegah. Tapi kebijakan pengelolaan kawasan Toba terlalu fokus pada branding, bukan pada keberlanjutan. Bahkan status Geopark Dunia dari UNESCO pun lebih sering dijadikan bahan promosi, bukan dasar strategi pelestarian yang konkret.