Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Rena Ini Menakjubkan

Diperbarui: 26 Maret 2018   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (pixabay)

Rena, berjalan jinjit pakai flat shoes, kakinya ramping, ringan untuk dilipat. Mentari belum sepenuhnya bergejolak, Rena sudah cekatan mempersiapkan banyak hal, tercatat dalam listpemulus rencana. Kaki ramping Rena melangkah setapak demi setapak bersilangan nan anggun.

 satu.. dua... tiga...

Pinggulnya terayun-ayun seperti ia mendengar dendang. Di pagi hari itu, di pekarangan rumah, senyum Rena menepis segala gundah.

Beberapa menit setelahnya, Rena berlari kecil mengambil keranjang belanja, bergegas jalan menuju pasar yang cukup jauh ditempuh jika tanpa roda, tetapi Rena tak menyerah duluan, ini akan berujung menjadi suatu hal yang menakjubkan. Rena seringkali menakjubkan hal yang menurunkan perasaan-nya, agar "Wah" seperti halnya badannya yang terlalu pendek, ia tanggapi dengan "Wah! Pendek sekali badanku, aku jadi terlihat mungil." Atau matanya yang terlalu sipit "Wah! mataku sipit, aku mirip orang jepang."dengan mencoba menakjubkan apapun, ia gemar bersyukur.

Perjalanan menuju pasar melewati jalan setapak yang terbentuk secara alami oleh tepi kali dan perumahan pinggir kali yang berapitan. Itu jalan setapak yang dulunya menyeramkan, banyak anak-anak terpeleset dan kejebur ke kali. Tidak deras airnya, tetapi dinding kali cukup terjal. Kini sudah aman, ketika ada betonisasi, sebagai wujud penjernihan air. Pori-pori tanah jadi membesar, kotoran yang lewat terbawa arus bisa tertangkap lebih banyak, yang terpenting jalan setapak tidak licin lagi, begitulah kata Ayahnya, meskipun demikian terlihat tampak tandus, hewan-hewan sebesar titik yang biasa menepi di sisi-sisi kali tidak hidup lagi.

 Akhirnya warga sekitar mengakali dengan menanam pohon di tanah yang belum dibeton, tapi pepohonannya disiram manual, menggunakan air kali, atau malah pakai air dari jet pump rumah, karena air kali tidak bisa menggenggam akar, kesekat beton. Tanpa pepohonan yang lebat, memang kali cukup menakjubkan dipandang mata, airnya mengalir tanpa beban, seperti cinta yang tulus dan ikhlas.

Deretan perumahan pinggir kali pagi itu seperti tak berpenghuni, mungkin penghuninya sudah terjerat rutinitas, seperti orbit benda langit di setiap harinya, atau mungkin lebih banyak beraktivitas lewat pintu belakang, yang membelakangi kali.

Rena celingak-celinguk memandang sekitar, pipinya ikut loncat-loncatan habis menyedot lemak dari kaki rampingnya, seperti ingin mengeluarkan bakso. Rambutnya pirang ketumpahan kemuning matahari yang tak angkuh menerobos celah-celah daun Palem. Bajunya segar sekali, berwarna oren muda, dan bawahan rok warna biru muda. Getaran kesegaran dari warna buah yang selasar dikenakan, belum bisa menyegarkan hatinya yang entah gelisah, padahal ia sudah menakjubkan apapun. Burung dara beterbangan merobek pemandangannya, seketika matanya membelalak, teringat mimpi besarnya. Ia ingin merebahkan saja segala mimpinya dalam lamunan, tetapi bisa jadi Tuhan tidak memaklumkan apapun. Ia pun mengangkat kepala dua derajat lebih tinggi dari sebelumnya. Barangkali menjalani dengan apa adanya lebih baik, ketimbang ketumpahan dilema ambisi, tapi ujung-ujungnya merenung.

Tunggu Rena! Hati kecilnya menjerit.

Bukankah merenung juga perlu untuk menampar kembali "sejauh mana kau melangkah Rena?" Seorang gadis manis macam Rena, cepat sekali lupa dengan rencananya sendiri, malah kini angannya seliweran membayangkan cerita buaya putih yang memakan korban saat anak kecil sendirian dipinggir kali, membuatnya takut, apa yang membuatnya takut, ia takjubkan. "Tak apa! Ini seperti petualangan sejati!"  Ketakutan itu sesungguhnya disugestikan oleh cerita buaya putih yang disampaikan Ibunya sejak ia masih kecil supaya ia mau makan.

Sesampai di pasar, pipinya memerah karena malu, ia mengumpat dibalik pupil matanya sendiri yang menyorot ke beberapa titik kasat peta, pada lorong-lorong pasar yang sekejap bisa menjadi sunyi menjelang sore hari. Jika kalian melihat seorang gadis usia 15 tahun meminggul keranjang belanja ke pasar, dengan blush on di pipi tidak terlalu tebal, mungkin itu hanya Rena, atau sejenis cerita hidup. Bagaimana kalau ia bertemu tetangganya yang sedang berbelanja? Sementara anak seusia-nya yang pergi ke pasar biasanya hanya ikut Ibunya berbelanja. Rena mulai mengendap-endap, dan menjadi tampak tak biasa. Ia juga jadi kebingungan apa yang harus dibeli, terlihat menjadi seperti orang linglung, Rena mulai menepis rasa-rasa yang mengganjalnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline