Lihat ke Halaman Asli

Fiksiana Community

TERVERIFIKASI

Komunitas pecinta fiksi untuk belajar fiksi bersama dengan riang gembira

[CerpenFC] Berkarat

Diperbarui: 11 Februari 2016   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu, jam 3.15 – sore.

Awan gelap berarak membawa gumpalan air bersamanya, sebentar lagi akan tiris menghunjam bumi. Cepat sekali menutupi birunya langit, menghalangi garangnya terik mentari.

Doni—35 tahun—menapak ke tanah, bertumpu dengan kedua lutut. Menengadah pasrah ke cakrawala menghitam, mengharap hujan turun saat itu juga, membasuh dan menghanyutkan lara tak berbentuk di relung terdalam. Bersimpuh di samping tubuh tak bergerak. Kepala lemah tertunduk, bulir air mata mendahului sang hujan. Satu per satu menampar bumi.

Ana—27 tahun—sang kekasih, menelungkup di atas tanah tak berumput. Dengan tangan gemetar, Doni membalikkan tubuh Ana.

Cairan merah masih menganak sungai dari pisau perak bergagang hitam yang menembus dada kiri Ana, meski tak sederas sebelumnya.

Doni menjerit, memeluk erat belahan jiwa yang telah pergi untuk selamanya.

 

Sepasang mata tua mengawasi punggung Doni yang terisak dari balik jendela nako lantai satu. Selaksa rasa bias di wajah yang keriput. Sosok tua bersetelan hitam-hitam meninggalkan jendela, membiarkan Doni di halaman belakang itu bersama kedukaannya.

Pandangan iba dan penyesalan juga tertumbuk ke punggung Doni. Hadi—60 tahun—adik dari mendiang ayah kandung Doni, Hary. Sang paman menghela napas dalam.

“Aku akan membalasmu, Kamal.” Bayangan Hadi menghilang dari jendela di lantai dua. “Dan kuharap… ini malam keberuntunganku.”

Klontang…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline